Kau tahu rasanya mencium cewek yang sudah kautaksir dari dulu? Aku tahu. Rasanya seperti sedang dilempar ke langit, menembus awan-awan, dan ajaibnya kau bakal mengapung di udara bukannya terhempas dengan kecepatan mustahil kembali ke bumi. Ada rasa panas menjalar di setiap serabut saraf tubuhku. Jantungku berdenyut-denyut seperti kehilangan kendali. Lututku lemas, tapi ajaibnya aku masih bisa berdiri di sana, di depan toko bunga sekaligus rumah Radha.
Ciuman itu tidak lama—sungguh! Cuma sekitar dua atau tiga detik saja. Tentu aku tidak bisa mempertahankannya lebih lama lagi karena—demi Tuhan!—kami ada di pinggir jalan raya! Salahkan keluarga Radha yang membangun ruko di pinggir jalan demi kemujuran bisnis mereka!
Kami cuma berpandangan setelah itu. Lebih lama daripada saat bibir kami bersentuhan tadi. Dan, ya, aku menyayangkan hal ini.
“Eh, udah malam,” kata Radha, merobek keheningan dan pandangan yang telah hampir menginjak satu menit ini. “Kamu harus cepat pulang. Papamu pasti nunggu di rumah.”
Aku memasukkan tinju ke saku jaket. “Yap. Sampai ketemu besok atau besoknya lagi atau…. Pokoknya, nanti gue sering-seringin mampir ke sini lagi.
Radha mengangguk setuju. “Nanti kukasih diskon lagi.”
“Ah, ya. Ini,” aku mengeluarkan beberapa bungkus permen berbentuk bola lapis kertas emas dari saku jaket, “buat adik lu. Biar nggak ngomel-ngomel terus.”
Radha tertawa seraya menerima permen-permen itu—itu permen yang kudapat dari Bos sehabis manggung. Katanya dari Prancis. “Thanks.”
Perpisahan pun selesai. Aku melangkah pelan ke motorku, berharap Radha akan memanggilku untuk memberiku sesuatu atau … yah, pokoknya memanggilku.
“Krishna!”
Wah, harapanku terkabulkan! Tanpa pikir panjang lagi aku menoleh padanya.
“Lagumu bagus!” seru Radha. “Suaramu, musiknya, semuanya! Bagus!”
Radha memang tukang kibul, tapi untuk saat ini aku menelan kebohongannya bulat-bulat.
***
Rasanya tidak terlalu berat dan perih saat kembali ke rumah. Memang rumahku gelap gulita mirip gua angker dari zaman penjajahan Belanda. Mungkin karena suasana hati yang sedang bagus-bagusnya. Buru-buru aku menstandar motor dan berjingkat-jingkat masuk ke rumah. Aku sudah lelah, tapi hatiku sedang bahagia. Aku bimbang antara tidur cepat atau menghubungi Radha lagi.
Menyalakan lampu-lampu, aku tidak melihat sosok Papa di mana pun. Ruang tamu, ruang tengah, dapur, kosong. Aku melangkah ke kamar Papa. Gelap sekali. Ponselku tertinggal di kamar, jadi aku benar-benar buta dalam kegelapan pekat ini. Dengan memanfaatkan insting, aku mencari sakelar dan menyalakannya. Setelah cahaya memenuhi kamar, aku bisa melihat kekosongan.
“Papa?” bisikku. Kemudian aku bergegas keluar. Kalau Papa tidak di kamarnya dan tidak di lantai satu, ke mana dia pergi? Jangan-jangan dia sedang berkeliaran di jalanan tanpa tahu arah dan tujuannya. Tidak, itu tidak mungkin. Aku sudah mengunci semua pintu keluar dan saat aku tiba tadi, tidak ada tanda-tanda pintu sudah dijebol. Berarti Papa masih di rumah ini.
Akhirnya kuputuskan untuk mengecek semua ruangan yang tersisa. Halaman belakang rumahku kosong melompong, kamar mandi juga. Habis sudah seluruh ruangan yang ada di lantai satu. Satu-satunya yang tersisa adalah kamarku di lantai dua dan satu kamar kosong di sana. Lekas aku berderap mendaki tangga ke lantai dua.
Karena kamar kosong di lantai dua tetap kosong, aku mengecek ke kamarku. Sebelum pergi, aku tidak pernah repot-repot mengunci kamar dulu karena memang kebiasaan. Dengan tangan sedikit gemetar, berharap-harap kalau kali ini aku akan mendapat jawaban, aku menjeblak pintu kamar itu. Kegelapan. Ada kegelapan yang pekat dan mencekam. Memanfaatkan cahaya lampu dari luar kamar, aku melihat berbagai barang berserakan di lantai. Ada kaleng bekas minuman, wadah-wadah DVD, buku-buku kuliahku, peralatan tulis, dan kertas yang dikoyak hingga kecil-kecil. Aku meraba dinding dan menekan sakelar lampu. Selama sedetik aku terbutakan oleh cahaya tiba-tiba, dan ketika pengelihatanku kembali lagi…. Ya Tuhan! Ini … apa?!
Di depan mataku saat ini adalah sejenis kamar tidur yang pernah diterjang angin puting beliung. Semua barang sudah tidak di tempat semulanya. Koleksi DVD musikku sudah acak-acakan di lantai. Bahkan piringannya ada yang terbelah dua. Semua benda—buku-buku tebal, pajangan karakter film, dan lebih banyak DVD—yang tadinya kuletakan di lemari besi telah berceceran di lantai sedangkan lemari itu ambruk di sudut ruangan. Meja belajarku porak-poranda. Laptopku sudah lenyap dari sana, entah ke mana.
Dan yang paling membuatku kaget hingga nyaris memuntahkan jantungku sendiri adalah Papa. Papa meringkuk di pojok ruangan. Wajahnya dibenamkan ke lutut, tubuhnya gemetaran tanpa henti. Mengabaikan keadaan sekitar, aku berlari menghampiri Papa. Saat berlari, aku menginjak sesuatu yang terdengar ‘krek’. Awalnya kukira itu kakiku—sehingga aku terhenti di tengah jalan—namun ternyata, ketika kutengok benda di kakiku, aku mengenalinya sebagai ponselku. Atau mantan ponselku. Benda itu sudah remuk redam meski masih bisa dikenali. Sekujur badanku seketika terasa panas dan dingin.
Membungkuk untuk memungut ponsel itu, aku menemukan serpihan-serpihan kertas di sekelilingnya. Dari serpihan-serpihan itu, aku menemukan beberapa serpih yang memuat kata-kata—lirik lagu yang kutulis dalam dua minggu! Demi Tuhan! Seseorang, tolong beritahu aku kalau ini cuma mimpi!
“Kenapa….” Papa melirih. “Kenapa kamu ke sini?”
Aku menolehnya cepat, menimbang-nimbang antara menjawab atau memakinya.
“Saya belum mau mati!” Papa menjerit padaku. Kulihat wajahnya pucat pasi dan hidungnya kembang-kempis. “Kamu ke sini mau bunuh saya, kan? Ya kan?!”
“Nggak….” Aku melangkah perlahan mendekatinya. “Papa, aku ke sini buat nolongin Papa.”
“BOHONG!” Papa berdiri sempoyongan, tangannya meraih-raih dinding. “Jangan dekat-dekat! PERGI! Kalau … kalau kamu mendekat, saya yang akan bunuh kamu!”
“Papa—”
“Saya bukan papamu!”