Summer Dream

Metha
Chapter #18

BAB DELAPAN BELAS

Bangsal itu dihuni dua orang lain yang ditunggui oleh kerabat mereka yang berisik. Mereka selalu menyalakan televisi dengan volume tinggi, menelepon keras-keras, ngobrol tentang banyak hal—yang enam puluh persennya adalah gosip—yang bikin tidurku terusik. Paling tidak, aku tidak sendirian meski seringnya aku ingin melontarkan sumpah serapah karena kebisingan.

Dokter Yudha mengunjungiku lagi keesokan harinya. Dia bilang akan ada kerabat yang menjemputku. Mungkin itu paman atau bibiku. Hubunganku dengan mereka tidak terlalu dekat karena aku jarang berkunjung. Aku tidak yakin mereka akan menjemputku karena betul-betul peduli padaku dan ayahku. Barangkali setelah mendengar petaka yang menimpa kami, mereka tiba-tiba peduli. Manusia kadang semenyeramkan itu.

Sore itu Dokter Yudha juga menjelaskan, tidak ada luka berarti di kepalaku, hanya robek kecil yang menyebabkan sedikit rambutku harus dicukur. Dari situlah asal darah yang meleleh. Dokter Yudha juga menerangkan bahwa otak tidak memiliki pembuluh darah. Darah yang keluar saat kepala terluka berasal dari pembuluh darah di bawah kulit yang robek. Itu bagus. Dari luar aku memang kelihatan mirip bocah bebal berkepala separuh gundul. Mungkin kalau aku mengenakan aksesoris berlebihan—tindik, eyeliner sekilo, gelang-gelang duri hitam, dan pakaian serba hitam lainnya—orang-orang akan menganggapku penggemar musik aliran Gothic. Keren! Namun jujur aku tidak senang. Aku tidak senang sama sekali karena aku selamat. Aku sudah tidak bisa bicara normal lagi. Aku sudah tidak bisa menyanyi lagi. Untuk apa hidup seperti ini?

Ada kalanya aku ingin menanyakan hal ini pada Dokter Yudha. Alih-alih bertanya, aku malah mengucapkan serentetan kalimat yang mirip mantra sihir. Setiap kali aku mengeluarkan rentetan mantra itu, wajahku memanas sepanas dadaku. Ingin rasanya marah besar dan mencakari siapa saja di dekatku meski aku tahu itu tidak akan mengembalikan kemampuan bicaraku.

“Mungkin agak seram, Krishna, tapi saya yakin kamu bisa,” kata dokter itu. Dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi, seburuk apa pun kabar yang hendak dia sampaikan padaku.

“Ayah … sini, umm ya?” ujarku. Aku benci sekali bicara. Padahal kalimat lengkap dan jelas telah tersusun di kepalaku tapi malah serangkaian kalimat tak jelas itu yang kuucapkan. Ingin rasanya membenturkan kepalaku ke dinding atau menggigit lidahku sampai bengkak agar aku tidak bisa bicara total.

Dokter Yudha mengangguk. “Oh, Pak Surya? Setelah kamu dibawa kemari, ada kerabat kalian yang datang jemput dia. Yang saya dengar, Pak Surya akan dibawa ke panti jompo terdekat.”

Panti jompo? Jangan! Jangan bawa ayahku ke sana! Aku ingin sekali mengatakannya, tapi aku yakin cuma kalimat-kalimat tak jelas yang bakal muncul. Jadi aku termenung dalam kebisuan.

“Krishna, ada satu hal lagi,” tambah Dokter Yudha. Kesan di wajahnya terlihat begitu serius. “Kami sudah periksa ulang hasil scan otakmu. Kami duga kamu pernah kena benturan lain di sisi kanan kepalamu.” Ucapan Dokter Yudha menghajar jantungku. Aku ingat malam saat Papa memukulku dengan vas keramik itu dan aku sampai pingsan. Juga ada darah di kepalaku waktu itu. “Kenapa kamu nggak periksa ke dokter? Memang kelihatannya sepele, tapi hal begini bisa mengakibatkan trauma pada otakmu. Apalagi kamu baru kena kecelakaan lagi. Bisa saja hal itu berefek pada otak kananmu.”

Aku membisu. Memangnya aku bisa bilang apa?

“Saya sudah buatkan dokumen-dokumen yang diperlukan agar kamu diizinkan ikut terapi di rumah sakit ini,” lanjut sang dokter. “Andai, Krishna, terjadi sesuatu, datang saja ke rumah sakit. Kami pasti akan menolongmu.”

Mudah sekali bilang begitu, ya?

Kerabatku datang beberapa jam setelah Dokter Yudha pergi. Tadinya kukira itu paman atau bibiku, ternyata mereka adalah Lysander, Oberon, Titania, dan Radha. Aku sampai terharu hanya dengan melihat mereka di ambang pintu bangsalku.

“Yo, Puck! Akhirnya lo bebas juga!” Lysander menyambutku sambil menepuk pelan pundakku. Dia menunjuk perban di kepalaku. “Ngapain, sih, pake acara jatuh dari tangga segala? Sampe kepala bocor begitu. Hati-hati, napa?”

Oh, jadi dia tidak tahu yang sebenarnya? Baguslah. Aku hanya membalasnya dengan senyum singkat. Setidaknya itu lebih baik daripada mengeluarkan kata-kata tak masuk akal itu lagi. Dengan perlahan aku turun dari ranjang. Saat kakiku menyentuh lantai, aku merasakan hawa dingin yang dasyat merambat dari lantai ke tungkai kiriku. Praktis tungkaiku melemas dan bergetar—aku tersungkur tiba-tiba.

“Puck!” Lysander menjerit. Dengan gesit dia meraih lenganku dan membantuku berdiri. Oberon juga membantuku. “Wow, lo kelamaan tidur. Makanya kaki lo lembek.”

Lihat selengkapnya