Akhirnya aku minta bantuan Bu Diah—karena dia yang terdekat dan paling cepat dijamah. Dengan ponsel tetanggaku itu, aku memeriksa SD Card ponselku. Hasilnya, seperti dugaanku, nihil. SD Card itu bahkan tak terbaca. Sepertinya guncangan maha dasyat yang telah meluluh-lantakkan ponselku juga telah mempengaruhi SD Card.
“Saya turut prihatin, Krishna. Semuanya tiba-tiba banget,” Bu Diah berbisik padaku.
“Oh. Um … um … di mana … Papa?” tanyaku. Yeah! Aku berhasil bicara normal! Tetapi butuh proses berpikir yang lumayan lama hanya untuk mengucapkan kalimat singkat itu. Kerusakan otak adalah hal yang menyeramkan.
“Oh, ya!” Bu Diah berseru. Wanita itu beringsut ke meja rendah di samping televisi dan mengambil secarik kertas. “Waktu kamu masih di rumah sakit, ada yang datang ke rumahmu dan jemput ayahmu. Dia bilang dia adik ayahmu. Ini nomornya. Dia nyuruh kamu datang ke rumahnya buat jenguk ayahmu.”
Aku memandangi kertas di tangan Bu Diah. Di sana tertulis: SISKA dan nomor ponselnya. Aku hanya mengenal satu orang Siska di dunia ini dan dia adalah bibiku. Aku tahu rumahnya, tapi untuk jaga-jaga, aku harus membuat janji temu dulu.
Setelah percobaan keseribu kalinya, dengan ponsel Bu Diah, aku berhasil menuliskan pesan singkat kepada satu-satunya kerabat yang kukenal itu. Aku tidak pernah menyangka kalau ternyata menulis sama sulitnya dengan bicara. Balasannya datang beberapa saat kemudian. Pesan itu singkat, jelas, dan padat. Dia menyuruhku datang ke rumahnya secepatnya sekarang juga karena ayahku ada di sana.
Rumah bibiku ada di Bogor. Karena aku disarankan untuk tidak mengendarai motor sendiri, aku menumpang ojol ke stasiun terdekat, menumpang kereta yang berjubel, lalu menyambung perjalanan menaiki ojol lagi. Dia tinggal di pinggir kota yang damai. Aku bolos kuliah hari ini demi pergi ke sana. Lagi pula, teman-teman sekelas masih mengira kalau aku masih dirawat, jadi itu tidak masalah. Bawaanku cuma dua: ransel berisi album foto dan buket krisan putih yang kubeli di toko lain—aku tidak mau berbelanja di toko Radha karena ibunya pasti memberondongku dengan pertanyaan yang tidak mungkin bisa kujawab.
“Krishna! Akhirnya kamu datang juga!” Seorang wanita menyambutku. Dia bibiku yang biasanya kupanggil Tante Siska. Wajahnya letih, matanya dikelilingi lingkaran hitam. Dia buru-buru menghampiriku yang baru turun dari ojek. Tante Siska mengenakan mantel hijau tebal dan syal. Dalam pakaian tebal itu dia tidak terlihat menggigil sepertiku.
“Iya,” kataku. Aku masih pantang bicara banyak. “Papa….” Dengan gerakan tangan, aku mencoba medeskripsikan apa yang hendak kubicarakan.
Tante Siska tampaknya memahami apa yang kubicarakan—cukup mengejutkan juga mengingat dia tidak tahu apa yang telah menimpaku. Atau mungkin sudah?
“Surya di dalam,” jelasnya, menyebut nama ayahku dengan ringan. Dia menuntunku ke dalam rumah. “Dia pendiam banget sampai saya takut. Saya dengar dari tetangga-tetangga kalian, sempat ada ribut-ribut sampai akhirnya ada kejadian. Benar begitu?”
Aku ingin membantah, aku ingin membenarkan. Pikiranku kacau dalam sekejap. Lidahku terpelintir sama seperti jaringan otakku.
“Saya juga heran, ribut-ribut macam apa sampai kamu harus dilarikan ke rumah sakit,” lanjutnya meski aku tidak menjawab pertanyaannya barusan. “Surya nggak pernah mau cerita apa-apa. Waktu saya tanya dia tentang kamu, dia juga tetap diam. Saya jadi cemas.”
Tante Siska membawaku ke balkon lantai dua rumahnya. Di sana aku melihat ayahku sedang duduk di kursi goyang besar sambil memandangi pucuk-pucuk pohon mangga di kejauhan. Aku gemetaran di posisiku, menimbang antara menghambur ke arahnya atau tetap di tempat. Papa bahkan tidak berkutik sedikit pun setelah aku dan Tante Siska datang. Mungkin di kejauhan sana dia melihat sesuatu yang begitu sedap dipandang sampai lupa kalau yang datang ini adalah anak dan saudarinya.
“Dokter di rumah sakit itu bilang, Surya menderita Alzheimer. Apa benar, Krishna?” tanya Tante Siska.
“Ya,” jawabku singkat. Jujur, aku rindu saat aku masih bisa bicara normal dan lebar.
“Kok kamu nggak ngabarin saya sama kerabat lainnya?” Kini Tante Siska terdengar marah. Aku tidak berani memandangnya. Mataku malah ikut-ikutan terkunci pada pucuk-pucuk pohon mangga di sana. “Kamu, kan, nggak sendirian di dunia ini! Kita ini keluarga yang harus saling tolong-menolong!”
Seolah kalian akan membantuku begitu saja.
Tante Siska mendesah. “Tapi, sudahlah. Yang penting sekarang semuanya baik-baik aja.” Lalu dia mohon diri untuk membuatkan minuman.
Kuputuskan untuk berdiri di samping kursi goyang Papa dan meletakan satu tangan di punggung kursi. Kursi itu bergerak maju-mundur berirama. Hanya ada keheningan dan tiupan angin di sekeliling kami, berdesir bersama pucuk-pucuk pohon.
“Papa,” panggilku. Aku memberikan krisan padanya, harap-harap cemas dia akan menerimanya atau malah menampar wajahku dengannya.
Papa memandangi krisan di tanganku dengan penuh minat, lalu menerimanya. Hatiku hangat seketika. Kemudian aku menurunkan ransel dan mengeluarkan album foto buatanku dulu—album berisi fotoku dan namaku. Album itu kutemukan di kamar Papa dalam keadaan utuh. Untung saja. Kutunjukkan album itu kepada ayahku, berharap dia akan mengingatnya.
Papa memandangi album itu dengan khidmat, tapi dia masih bergeming. Pelan-pelan kuletakan album di pangkuannya dan kubuka halaman per halamannya. Papa memperhatikan foto-foto yang ada di sana dengan saksama seperti sedang menelaah rumus fisika yang rumit sekali. Ketika halaman album telah menunjukkan foto diriku yang telah remaja, Papa melirikku. Lalu setelah dia melihat foto diriku berusia delapan belas tahun, dia memandangku lekat-lekat.
“Krishna.”
Satu kata itu berhasil menyentuh jantungku. Tanpa sadar aku tersenyum.
“Krishna. Nama yang bagus,” kata Papa lagi.
Aku mengangguk.