Summer Dream

Metha
Chapter #20

BAB DUA PULUH

Keesokan harinya, Ragil sang ketua HMJ dan beberapa anggota HMJ lainnya datang menjengukku. Mereka membawakan bunga-bunga segar dan buah-buahan untukku. Mereka bilang mereka begitu terkejut ketika mendengar kabar duka yang menimpaku. Ragil juga bilang, dia akan mengundangku ke puncak acara ulang tahun jurusan sebagai tamu kehormatan meskipun aku sudah tidak bisa bernyanyi dan bermain gitar. Aku cuma menimpalinya dengan anggukan kecil dan tatapan dingin. Kunjungan mereka hanya bertahan selama kurang dari tiga puluh menit, lalu mereka pergi. Mungkin mereka bingung bagaimana berinteraksi dengan cowok separuh gundul, lumpuh, dan nyaris bisu ini.

Teman-teman sekelas juga menjengukku sore harinya. Sama seperti para anggota HMJ, mereka membawakan bunga dan buah untukku. Aku cuma memberi mereka tatapan hampa yang entah ke mana arah fokusnya. Setelah mereka pulang, hanya Radha yang masih tetap di bangsal bersamaku.

“Mau kukupasin apelnya?” tanyanya, duduk di samping ranjangku dan memegangi sebutir apel.

Aku termenung dan bungkam.

“Lysander sama yang lainnya mau ke sini setelah jadwal manggung,” dia menjelaskan. Tangannya bergerak gesit mengupas apel.

Aku masih membisu.

“Nggak apa-apa, Krishna. Nggak apa-apa kalau kamu marah sama dunia dan semua orang. Nggak masalah kalau kamu ngutuk semua orang di dunia ini supaya mereka juga ngerasin penderitaan yang sama denganmu. Karena kita semua sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang nggak bisa ngelak dari takdir dan nggak bisa jalanin rasa sakit sendirian.” Radha sudah mengupas separuh apel itu. Kulit apel berceceran ke dalam selembar kantong plastik terbuka, mirip bercak-bercak merah dan putih di atas warna hitam.

Aku cuma mengerjap, lalu menyeret perhatianku pada buket bunga di meja. Banyak sekali bunganya—mawar, krisan, bunga matahari. Andai aku masih sehat, aku mungkin akan membawa beberapa buket krisan pulang. Papa suka bunga krisan putih.

Papa.... Bagaimana kabarnya di rumah Tante Siska? Apa Tante Siska tahu kalau aku kembali dirawat?

“Aku sudah kasih tahu Bu Diah kalau kamu bakal dirawat inap beberapa hari,” lanjut Radha seraya menyodorkan separuh apel yang telah bebas kulit kepadaku. “Bu Diah yang nanti ngasih tahu papamu.”

Mataku menatap tajam separuh apel di tangan Radha. Bisa tidak aku mengunyah dan mencerna apel itu hanya dengan menatap?

“Oh, biar kupotong lagi,” sahut Radha, menyambar separuh apel di tangannya lalu memotong-motongnya dengan menggunakan tangan yang lain sebagai tumpuannya. Lalu dia menjajar potongan-potongan itu di sebuah piring kecil, dan menyodorkan kepadaku. “Ini. Makan dulu.”

Aku menerimanya dan memasukkan potongan apel itu ke mulutku. Aku tidak mengunyahnya, hanya mengemutnya seperti permen.

“Sepertinya, Krishna, aku mau mampir setiap hari dan ngeladenin kamu begini. Berdua begini rasanya kayak suami-istri, ya?” Radha tersenyum padaku. Senyumnya cerah dan ekstrem. Efeknya meresap ke jantungku sehingga alih-alih tersipu malu, aku malah marah. Karena pada dasarnya aku sedang bersedih, berduka dan Radha justru tersenyum. Dan menggodaku.

Lihat selengkapnya