Tante Siska dan Papa masih di sana ketika Summer Dream datang. Aku heran kenapa Lysander dan yang lainnya bisa mampir jam segini. Soalnya, seharusnya jam segini mereka harus siap-siap tampil di restoran.
“Yo! Eh, ada tamu.” Itu sapaan Lysander yang biasa. Dia memang tidak punya malu. “Sore, Om, Tante!” Tapi kadang dia juga sopan.
“Sore,” Tante Siska yang membalas. “Kalian teman-teman Krishna?”
“Iya, Tante. Puck—eh, Krishna itu udah mirip adik kami sendiri.” Lysander mengatakannya dengan tenang dan mantap. Aku sampai malu dibilang begitu.
“Syukurlah. Tolong jaga Krishna, ya?” Tante Siska melemparkan senyum kecil kepada wajah ganteng Lysander. Lysander menangkap senyum itu dan mengangguk.
Sekali lagi, bangsalku penuh dan ramai. Aku senang. Aku senang sekali dan sedih sekali pada saat bersamaan. Senang karena aku punya banyak teman dan orang yang mempedulikanku. Sedih karena aku baru menyadarinya sekarang.
“Oh, papanya Krishna, ya?” Lysander beralih pada Papa. Papa tidak menatapnya. Dia lebih suka memandangi kuntum krisan yang tadi dia letakan di kasurku ketimbang wajah Lysander. Kulihat Lysander tampak sedikit gelisah karena Papa tak kunjung menyahuti pertanyaannya. Bahkan Oberon dan Titania ikut-ikutan memasang dahi berkerut dan satu alis yang dinaikkan.
Radha berkata, “Iya, itu papanya Krishna.” untuk menguasai keadaan yang perlahan berubah canggung. Aku mengembus lega dalam hati.
Keadaannya memang canggung sekali karena Papa tidak kunjung bersuara bahkan setelah Lysander mendekat dan mengulurkan tangan untuk bersalaman dengannya. Menyadari keanehan itu, Lysander menarik kembali tangannya dan cuma meringis kikuk.
“Ya ampun. Sudah jam berapa sekarang?” Tante Siska berseru memecah kecanggungan itu. “Saya harus cepat pulang, nih. Suami dan anak-anak pasti sudah nunggu di rumah.” Dia menggamit lengan Papa dan mengajaknya berdiri. “Ayo pulang, Surya.”
“Pulang?” Papa masih memandang kuntum krisan, lalu beralih pada mataku. “Krishna?”
Aku mengerdip-ngerdip mirip orang bodoh, tidak tahu harus berkata apa.
“Iya, pulang,” tegas Tante Siska. “Besok kita ke sini lagi.”
“Ke sini?” Papa menyeret pandangannya pada Tante Siska. “Ngapain ke sini?”
Aku benci mengakuinya, tapi ini menyakitkan.
“Ya jelas jenguk Krishna dong!” Tante Siska menjerit hingga semua orang di bangsal itu—kecuali aku—terlonjak di tempat. Sedetik kemudian Tante Siska salah tingkah dan mohon diri. Sambil menyeret Papa, dia keluar dari bangsalku. Hanya ada satu hal yang kupikirkan sembari melihat Papa menghilang di balik pintu: bahwa aku mungkin tidak akan melihatnya lagi. Bahwa bisa jadi, Papa sudah tidak ingat lagi padaku begitu menginjakkan kaki di luar bangsal. Ini menyedihkan dan menjengkelkan. Keberadaan seseorang bisa segera terhapuskan oleh satu langkah. Diam-diam aku mengutuki setiap langkah yang diambil oleh ayahku di luar bangsal ini. Diam-diam aku berharap Papa akan putar arus dan kembali ke bangsalku.
Namun, setelah keheningan berkepanjangan, Papa tidak kunjung kembali. Hanya tinggal teman-temanku di bangsal terkutukku ini. Mereka semua menatapku bagai aku baru saja mempertunjukkan sejenis dagelan kepada mereka.
“Krishna, papa lo kenapa?” Lysander menanyaiku. Dia menyebut nama asliku dan itu artinya dia serius. Memang butuh waktu lama bagiku untuk menjawab, namun aku tetap menjawabnya.