Summer Dream

Metha
Chapter #23

BAB DUA PULUH TIGA

Radha ngotot. Radha bebal. Radha keras kepala. Radha telah berubah seratus delapan puluh derajat dari cewek pemalu dan penakut menjadi cewek yang suka memaksa. Gadis itu tidak pernah absen menjengukku di rumah sakit sialan itu, tidak pernah lelah menungguiku menyelesaikan sesi terapi konyol yang didominasi dengan ‘bagaimana cara berbicara yang baik dan benar’. Suasana terapi itu mirip dengan suasana kelas satu SD. Aku diarahkan untuk menceritakan kegiatanku sehari-hari, kegiatanku di hari sebelumnya. Pernah kucoba untuk mendekam di ruang terapi untuk waktu yang sangat lama dengan harapan Radha sudah pulang begitu aku keluar. Hingga terapi selesai dan aku diantar kembali ke bangsal oleh si suster tak ramah, Radha masih menungguiku. Seperti hari ini.

“Halo, umm….” Susterku menyapa Radha saat mendorong kursi rodaku di lorong rumah sakit. Mereka sudah sempat berkenalan karena Radha selalu mampir ke bangsalku dan selalu menyapa susterku. Tetapi kurasa si suster tukang pura-pura itu sengaja melupakan nama Radha.

“Radha,” ucap Radha sambil tersenyum lebar.

“Oh, ya, Radha.” Susterku terdengar sangat ramah. Sungguh, kalau kau tidak pernah disuapi, dimandikan, disalini, kursi rodamu didorongkan ke mana-mana, dan lain-lainnya secara langsung oleh orang ini, kau pasti bakal menyangka dia ini orang teramah sedunia.

“Krishna mau balik ke kamarnya sekarang?” tanya Radha dengan kerlip penuh harap di matanya.

“Iya. Dia tadi nggak gitu antusias ngikutin terapi. Tapi nggak tahu kenapa, kok, dia malah minta jam ekstra,” jelas Suster Rachael. “Dasar anak aneh. Sampai sekarang saya belum bisa paham isi pikirannya, padahal saya yang ngeladeni setiap hari.”

“Krishna agak pemalu.” Ucapan Radha sukses membuatku malu secara harfiah. “Oh, ya, Suster Rachael, boleh saya yang bawa Krishna ke kamarnya?”

“Oh, jangan repot-repot. Biar saya saja. Tapi kamu boleh ikut kok.”

Setelah Radha berterimakasih pada suster itu, kursi rodaku kembali didorong. Selama perjalanan, aku mendengar Radha dan Suster Rachael membicarakan hal-hal remeh yang sesekali dijeda oleh keheningan. Ketika kurasakan atmosfer di sekeliling mereka berubah canggung, salah satu dari mereka akan membuka pembicaraan baru dengan topik yang sama remehnya. Di dalam lift adalah momen tercanggung dan terkikuk yang ada. Sementara cuma ada kami bertiga di ruangan sempit itu—dengan aku yang cuma duduk manis mirip bocah TK kena hukuman dan memegangi papan tulis magnet pemberian dokter—absennya suara belum pernah terasa semenyeramkan ini.

Kengerian itu, untungnya, dibuyarkan oleh denting lift. Suster Rachael mendorong kursi rodaku lagi dan Radha berjalan tanpa suara di sampingku. Saat aku meliriknya, kulihat Radha juga melirikku. Ini dia satu lagi formula klise yang menciptakan hidup ini.

Setelah perjalanan yang lamban dan lama, kami sampai di bangsalku. Suster Rachael dan Radha membantuku kembali ke ranjang, lalu suster pergi. Aku lega dia sudah pergi, tapi agak kesal setelah melihat soft case gitar Radha di sudut ruangan.

“Radha … itu … umm, tas. Di sana. Tas.” Aku berusaha bicara padanya.

Lihat selengkapnya