Ulang tahun jurusanku dirayakan dengan cukup meriah selama seminggu penuh. Hari pertama diadakan perlombaan olahraga di lapangan kampus. Seingatku, lomba itu diikuti seluruh mahasiswa dan juga diadakan undian berhadiah. Aku tidak pernah memenangkan hadiahnya. Hari kedua hingga kelima diisi dengan kegiatan bake sale—semacam kegiatan menjual makanan unik sesuai dengan tema ulang tahun jurusan yang berubah setiap tahun dan diramaikan dengan penampilan band-band indie. Aku paling suka bake sale karena Summer Dream selalu tampil di panggung sederhana yang diberdirikan oleh para mahasiswa. Aku masih ingat saat orang-orang menatapku dan bersorak setelah aku selesai menyanyi, juga saat Lysander mentraktir kami jajanan apa saja yang kami inginkan.
Saat aku masih semester dua, Papa mampir ke acara bake sale. Aku tidak tahu dia bakal ke sana karena waktu itu dia masih bekerja dan penyakitnya belum separah sekarang. Tahu-tahu aku melihatnya ada di antara kerumunan penonton Summer Dream. Dia tersenyum padaku dari balik kacamata besarnya. Spontan, aku makin semangat menyanyi. Begitu selesai tampil, aku menghambur ke arahnya dan mengajaknya berkeliling. Kami mampir ke stan yang menjual kreasi es krim berbentuk pot dengan permen berbentuk bunga di ujungnya. Dia membeli dua es krim—satu untukku dan satu untuknya. Lalu, aku mengundangnya untuk hadir di acara puncak ulang tahun jurusan agar kami bisa mendengar musik live bersama-sama.
Mengingat semua itu rasanya sungguh damai. Aku yang tadinya tidak bisa tidur, sekarang sudah mengantuk bukan main. Oh, ya, aku sudah tidak dirawat di rumah sakit lagi. Selama ini biaya pengobatanku ditanggung oleh Tante Siska. Mungkin dia mengambil tabungan Papa atau asuransi atau apa, aku tidak peduli. Yang penting sekarang aku sudah kembali ke rumahku yang nyaman, sepi, dan penuh kenangan. Para tetangga sering berkunjung untuk memberiku buah atau sekadar dukungan moral. Ya, mereka baik. Dan kebaikan adalah satu-satunya yang dibutuhkan oleh orang sakit sepertiku. Tante Siska ke sini sekali seminggu untuk mengurusi keperluanku, sendirian. Tiap kali kutanya dia tentang Papa, dia tidak mau menjawab. Keadaan sudah terlalu pelik dengan sakitnya aku. Kuharap Papa sehat-sehat saja.
Besok adalah hari ketujuh ulang tahun jurusan—puncak acaranya. Acara itu akan diadakan pada malam hari. Lokasinya di panggung terbuka kampusku dan dihadiri ratusan orang. Entah aku bisa datang atau tidak.
Sudah lama sekali waktu berlalu sejak aku dan Radha menyelesaikan lagu baru itu. Radha bilang dia telah menyerahkan lagu itu kepada Lysander, tapi Lysander belum memberi kabar apa-apa. Dia dan yang lainnya juga jarang mengunjungiku lagi. Kupikir mereka sudah tidak mau tahu lagi soal aku. Sudah terlalu lama aku dirawat di rumah sakit dan mogok bicara, ditambah lumpuh separuh. Orang mana yang tidak akan lelah mengurusiku yang begitu? Hanya gitar lefty kesayanganku saja yang menemaniku setiap hari, setiap jam, menit, dan detik dengan terduduk mati di sudut kamar. Biar saja. Yang penting aku bisa tidur tenang dan damai lagi di rumah ini.
***
Membuka mata pagi ini, aku merasa pusing bukan main. Badanku terasa lemas, bahkan lebih lemas dari hari-hari sebelumnya. Apakah ini efek samping dari obat-obatan yang selama ini kukonsumsi? Penyakitku yang aneh ini mengharuskanku minum banyak obat-obatan—mulai dari antibiotik, obat tidur, obat ini-itu yang tidak kuingat semuanya. Aku merasa lambungku sudah penuh dengan bahan kimia berbahaya yang bakal meledak suatu waktu.
Jadi, aku memutuskan untuk berbaring dan tidur lagi.
Baru sebentar aku tidur, tiba-tiba ada yang menekan bel pintu depan. Suaranya begitu keras sampai aku terperanjat bangun begitu saja. Aku tidak bisa bangkit dan berteriak, jadi kubiarkan saja bel terus ditekan.
Lalu, kudengar suara pintu berderit dan dibuka—aku menempati kamar Papa di lantai satu yang dekat dengan pintu depan. Oh, orang itu membawa kunci rumahku. Itu artinya dia adalah Tante Siska atau Radha. Tante Siska memang sengaja mengunci pintu dari luar untuk menjauhkanku dari bahaya. Coba bayangkan, bocah lumpuh dan nyaris bisu tinggal sendirian di rumah yang masih lengkap perabotannya. Berbahaya. Tante Siska mempercayakanku pada Radha juga, jadi Radha juga membawa kunci duplikat rumahku.
“Krishna, ini aku Radha!”
Oh, itu Radha.
Terdengar gedebak-gedebuk, lalu pintu kamar berayun terbuka. Radha berdiri di ambang pintu. Dia mengenakan gaun merah jambu bermotif totol-totol warna-warni. Jaket jurusan kami, yang warnanya biru gelap, dirangkapkan ke gaun itu. Sepatu kets yang Radha kenakan memberinya kesan santai. Rambut ikal sebahu Radha semakin ikal seperti gulungan mi.
“Kenapa masih tiduran begitu?” dia berseru seraya menghampiriku. Praktis, aku memasuki mode bertahan. “Ini sudah sore, Krishna. Acaranya bakal segera dimulai.”
Sore? Acara?
“Kamu harus mandi dulu. Habis itu kita berangkat pakai mobil papaku,” umum Radha.
Tunggu, tunggu! Mandi itu maksudnya mandi? Aku harus telanjang dan segalanya itu?
Gadis itu berjalan ke arahku seraya memperhatikanku dari atas ke bawah. “Hmm … biar kubantu cuci wajah aja.”
Ya, itu jauh lebih baik.
Tanpa protes berarti, aku merayap ke kursi roda dan membiarkan Radha mendorongku ke kamar mandi. Di sana dia membantuku membasuh wajah, menyabuninya, lalu mengeringkannya. Dia juga membantuku mengganti pakaian walaupun untuk bagian bawah, aku harus melakukannya sendiri sementara Radha menunggu di luar. Ya, itu jauh lebih baik. Setelah perjuangan selama beberapa saat, aku berhasil mengganti pakaianku dan menggulirkan roda kursi ke luar kamar mandi.
“Ayo berangkat!” Radha mendorongkan kursi rodaku dengan kelewat semangat dan cepat. Aku sampai takut kursi rodaku bakal tersandung sesuatu dan aku akan terjungkal mencium lantai.
“Radha … jangan … cepat-cepat!” teriakku. Kemampuanku berbicara sudah sedikit lebih baik dari sebelumnya—berkat terapi-terapi itu. “Kita … umm, kita … pergi ke mana?”
“Iya, kita pergi. Pergi ke kampus nonton Summer Dream!”
Jawaban Radha sukses menyentak seluruh isi tubuhku dan membuatku kebas di tempat.
***