Jatinangor, September 2017 ...
Ran dan Shiwa bahu membahu mengeluarkan barang-barang mereka dari kamar. Satu-satu mereka menurunkan kardus-kardus ukuran sedang dari lantai tiga asrama. Bukan hanya mereka, beberapa teman asrama lain juga membantu mengeluarkan barang-barang lain seperti meja lipat dan kipas angin.
Masa wajib tinggal di asrama mereka akhirnya habis setelah setahun berlalu. Pihak jurusan memang hanya mewajibkan mahasiswanya untuk tinggal di asrama kampus selama setahun. Setelahnya, mereka bebas tinggal atau keluar mencari tempat lain. Sebenarnya asrama sangat nyaman, tapi adanya peraturan yang cukup ketat membuat Ran memilih keluar dan mencari indekos. Shiwa pun berpikiran begitu, jadi mereka sepakat untuk menyewa kamar bersama.
Ran sudah menemukan indekos putri yang tidak jauh dari fakultas mereka dan Shiwa langsung setuju setelah melihat fotonya.
“Tapi kamar ini buat tiga orang. Kemarin kata ibu kos-nya udah ada satu orang yang mau nyewa kamar ini bareng kita.”
“Iya tak apa .. kamarnya besar dan kamar mandi juga di dalam. Semoga saja anaknya baik.”
Mobil bak terbuka yang menjadi kendaraan pindahan mereka sudah siap berangkat. Ran dan Shiwa mengucapkan salam perpisahan sekali lagi pada teman-teman seasrama mereka yang mengantar di pelataran. Suasananya begitu haru, Ran jadi heran sendiri karena mereka bukannya akan berpisah selamanya, nanti juga di kampus bertemu lagi.
Usai sesi sedih-sedihan itu, mobil mereka melaju menuju indekos baru di luar kompleks kampus. Mereka memasuki gang kecil, melaju pelan sebentar dan akhirnya berbelok menuju pelataran rumah bertingkat dua yang cukup luas. Ibu kos mereka serta merta menyambut, mendadak jadi tukang parkir untuk mobil mereka.
“Bu Elin ...” Ran menyalami ibu kosnya itu, “Ini Shiwa, teman saya yang kos bareng saya.”
“Oh iya, iya ... saya Elin.” Elin memperkenalkan diri pada Shiwa yang baru pertama kali ditemuinya.
“Paakkk! Tolongin angkatin barang nih!” Elin berteriak ke arah rumahnya.
Seorang laki-laki paruh baya tergopoh-gopoh keluar, senyum ramahnya mengembang melihat Ran dan Shiwa yang berdiri malu-malu.
“Oh, Neng Ran yang mau ngekos kemarin!”
“Iya, Pak Tatang.”
“Hayu.. saya bantuin!”
Ran bergerak cepat menuju kamarnya di lantai dua dengan kardus di tangannya. Ia agak kaget ketika menemukan orang lain di dalam kamarnya. Ran menduga pastilah dia penyewa lain yang akan berbagi kamar dengannya dan Shiwa.
“Halo ..” Ran menyapa lebih dulu.
“Hai ... Aku Elya.” Ia menyodorkan tangannya pada Ran, “Eh, repot, yah...”
Ran tertawa ringan, meletakkan kardusnya dan menyambut sodoran tangan Elya “Ranita ... panggil aja Ran.”
Untuk sesaat Ran bisa melihat keterkejutan di wajah Elya. Alasannya tentu ia tidak tahu. Ran tidak mau ambil pusing. Ia segera berbalik untuk kembali mengambil sisa barangnya di mobil. Dengan dibantu oleh Elin, Tatang dan sopir mobil, prosesnya jadi lebih cepat. Lima menit kemudian mobil bak yang mereka sewa itu sudah meninggalkan pelataran indekos.
“Ini kunci kamarnya. Satu buat Neng Ran, satu buat Neng Shiwa. Neng Elya mah udah, kan, ya ..”
Elya mengangguk.
Sepeninggalan Elin, Ran, Shiwa dan Elya saling berkenalan. Elya ternyata setahun lebih tua dari Ran dan Shiwa. Ia jurusan manajemen dan orang asli Bandung.