Hari merangkak semakin petang, sejak pergi dari tadi pagi hingga waktu petang kini telah tiba, Hasyim tidak juga tampak batang hidungnya di hadapan Habsyah. Kedua putrinya mulai sibuk bertanya di mana Ayah mereka yang sejak tadi tidak juga kunjung pulang ke rumah.
Lagi-lagi Habsyah hanya bisa mengusap dada. Semakin lama semakin tidak dimengertinya perangai Hasyim. Kalau Hasyim mengatakan dialah yang keras kepala. Maka Habsyah pula memberi tunjuk kalau Hasyimlah yang keras hatinya.
Beberapa waktu belakang, memang Hasyim tampak kurang sehat. Habsyah sudah berupaya membujuknya agar Hasyim mau dibawa ke rumah sakit di kota karena banyak mantri di kampung itu yang sudah mereka datangi, tidak satu pun dari mantri-mantri itu berhasil menyembuhkan penyakit Hasyim. Setiap mantri berbeda pendapat dan tanggapan atas penyakit yang diderita Hasyim sehingga ingin sekali rasanya Habsyah membawa suaminya untuk dirawat saja dulu di rumah sakit kota.
“Kau pikir biaya ke sana tak mahal? Daripada kita buang-buang uang demi pengobatanku yang tidak akan ada hasilnya itu, lebih baik uang itu kau simpan saja untuk biaya anak-anak kita nanti,” ucap Hasyim suatu kali saat Habsyah mencoba membujuk suaminya agar mau mengikuti sarannya.
“Abang berucap bagai sudah pasrah kalau nak mati, tak ada salahnya kita berusaha dahulu, Bang. Ikhtiar itu penting.” Habsyah mencoba membujuk suaminya.
“Ikhtiar memang penting. Sebab itu abang ingin kita balik adakan perjamuan untuk kesehatan abang,” ujar Hasyim bersikeras dengan kemauannya.
“Begitu hebatnya kepercayaan Abang dengan amanat leluhur Abang itu, mengalahkan kepercayaan Abang kepada Tuhan,” kata Habsyah menyindir.
“Habsyah! Mengapa kau selalu ingin menyudutkan abang, hah? Kau pikir laki kau ini tak tahu agama? Kau pikir laki kau ini kafir? Sembarang kau berucap! Berapa kali abang harus memberitahumu, kalau dua hal itu adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi agaknya kau tak juga paham. Kau masih sibuk menuduh dan menganggap kau adalah benar dan kami semua ini salah.”
Habsyah terdiam. Ingin rasanya ia menjawab semua perkataan suaminya. Namun, mulutnya sudah terkunci tatkala dilihatnya anak-anaknya masuk ke dalam rumah. Habsyah tidak pernah menunjukan kepada kedua putrinya kalau ia dan suaminya sedang berselisih paham. Sebisanya Habsyah akan menutupi semuanya di hadapan kedua anaknya.
Terkadang perdebatan mereka tidak pernah tuntas hanya karena ada kedua putrinya di sana. Beruntung Hasyim juga selalu bisa menahan diri saat berada di hadapan anaknya. Semarah-marahnya Hasyim kepada Habsyah, Hasyim akan segera meredam kemarahannya jika di hadapkan kepada kedua anaknya. Itu semua dilakukan Hasyim karena Hasyim tidak ingin menjadi contoh yang buruk di hadapan anak-anaknya.
*****