Sumpah Puaka

ANINZIAH
Chapter #3

Bab. 3

Rumah Habsyah dan rumah mertuanya berjarak lumayan jauh sebenarnya. Namun, dengan mengendarai sepeda, jarak yang jauh itu bisa juga agaknya mereka lalui dengan tidak memakan waktu yang lama.

Habsyah membonceng Samrah si Bungsu sementara Mak Ngah membawa Maryam diboncengannya pula. Jalanan setapak yang bergelombang karena tanah yang tidak rata, bisa juga mereka lewati walau sesekali ban sepeda Habsyah tersuruk ke dalam lobang-lobang kecil ditengah jalan.

Suara orang-orang yang mulai melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an mulai terdengar dari langgar dan surau-surau. Pertanda sebentar lagi azan Magrib akan berkumandang. Habsyah mengayuh sepedanya lebih cepat agar bisa mengejar waktu salat yang sebentar lagi akan datang.

Hampir dua puluh menit. Mereka tiba di sebuah rumah panggung yang dicat dengan warna hijau tua. Pohon pisang yang berderet di samping kanan rumah menampakkan kesuraman suasana sekitar rumah yang terkesan gelap. Sungai kecil mengalirkan air berwarna kemerahan berada di sisi kiri rumah. Warna merah air sungai yang berasal dari serpihan tanah damar di hulu, selama bertahun lamanya sudah menjadi pewarna alami untuk sungai yang berwarna teh kelat itu.

Habsyah mendorong sepedanya mendekati tangga. Disenderkannya sepeda itu ke tiang dekat tangga penyangga rumah tua milik orang tua suaminya. Maryam dan Sabrah berlarian masuk ke rumah setelah turun dari boncengan. Teriakan salam mereka pun disambut hangat orang-orang di dalam rumah.

Sebenarnya anak-anak Habsyah sangat disayang oleh Atok dan Andong mereka. Bahkan sanak saudara dari suami Habsyah tampak begitu peduli kepada anak-anak Habsyah. Hanya saja, Habsyah yang sudah terlanjur mentah hatinya karena fakta yang ada pada keluarga suaminya, membuat Habsyah sebisanya menjaga jarak dengan keluarga saudaranya.

Ternyata, usaha Habsyah tampaknya tidak bisa berhasil sepenuhnya. Anak-anaknya tetap dekat dengan keluarga suaminya apalagi suaminya yang terikat darah dengan keluarganya. Adalah hal mustahil untuk Habsyah bisa memisahkan mereka. Ibarat pepatah yang mengatakan “Tidak kan putus air dicincang.” Begitulah Habsyah, tak kan bisa memutus tali darah yang ada antara suaminya dan keluarganya.

Suara azan melambung ke langit. Habsyah tersentak tatkala Mak Ngah meraih lengannya agar menaiki tangga rumah. Setelah menghela napas panjang, Habsyah melangkahkan kaki kanannya seraya berucap basmallah di dalam hati.

Tidak berkesudahan doa-doa dilantunkan Habsyah di dalam hati agar Yang Maha Kuasa melindunginya dari keterlibatan keluarga suaminya yang telah bersekutu dengan jin yang mereka anggap adalah penolong kedua setelah Tuhan yang mereka sembah.

‘Wahai Allah yang maha mengetahui. Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kejahatan yang telah mengikuti dan menjerat keluarga suamiku. Dari jin-jin yang berusaha menghancurkan keimananku. Jangan jadikan aku satu golongan dengan mereka-mereka yang telah bersekutu denganmu.'

Tiada henti Habsyah melafazkan doa di dalam hatinya. Ketakutannya, kebimbangannya saat melangkahkan kaki ke dalam rumah, membuat jantung Habsyah bertalu-talu bagai beduk di surau yang di pukul oleh Muadzim. Sorot mata mertua juga saudara-saudari suaminya menatapnya penuh arti. Boleh jadi sebagian dari mereka tengah mencibir karena menganggap akhirnya keras hatinya luluh juga sehingga Habsyah pun menjejakan kaki ke rumah orang tua mereka. Sebagian lain pula menyambutnya dengan pandangan suka cita dengan anggapan kalau Habsyah sudah mau berbaur dan mengikut apa yang memang sepatutnya dikerjakan keluarga mereka selama ini.

“Kau datang? Bawa anak kau duduk di sini. Dekatlah kau dengan Hasyim.” Ayah mertua Habsyah, Atok Itam. Menyeringai senang menyambut kedatangan istri anaknya itu. Tampaknya, lelaki tua itu baru saja selesai melaksanakan salat Magrib. Terlihat dari ujung lengan bajunya yang terkena percikan air dikarenakan setibanya Habsyah di rumah itu, sampai pulalah waktu salat Magrib. 

Lihat selengkapnya