Sumpah Setia

Annisa Sabhrina
Chapter #2

Bab 2. Perjumpaan

“DEEEEKKKKK! Buruan itu jalannya. Tau kan disuruh dateng jam berapa. Masih aja telat. Jangan lupa pakai itu papan nama di dadanya” teriak seorang senior gendut yang berdiri dekat pintu gerbang kampus.

Sial! 

Sambil setengah berlari dalam hati aku memaki si senior gendut dengan tas selempang dan jas almamater sempitnya yang sepintas mirip dengan lontong yang terisi padat penuh. Ah, masih jauh lagi menuju lapangan tempat upacara penerimaan mahasiswa baru.

Turun dari mobil ayah aku celingak-celinguk melihat sekitar, takut ada kakak senior yang memergoki. Pasalnya setiap mahasiswa baru selama masa orientasi pengenalan tidak boleh ada yang bawa kendaraan atau diantar sampai ke gerbang kampus. Dari edaran yang aku dapat, semua hanya boleh turun di dekat pool taksi yang jaraknya sekitar 200 meter dari kampus. 

Ayah yang tadi mengantar dengan mobil bersikeras untuk menurunkan aku di depan pintu gerbang akhirnya mengalah dan membiarkan anak sulungnya ini berjalan sendiri lengkap dengan kemeja putih, rok hitam, sepatu hitam lengkap dan jaket almamater. Aku berhasil tidak membuat ayah menurunkan di pintu gerbang setelah berkata, “Yah, malu kali kaka diturunin depan gerbang. Nanti kakak bisa diketawain. Belum dikasih hukuman. Udah kuliah kali yah, kakak bisa sendiri.” ujarku sambil merengut. 

Ayah yang sambil menyetir melihat ke arahku, “Al.. Al.., memang kenapa kalau kuliah masih diantar? Nanti juga kamu kerja atau praktik, Ayah siap antar kamu,” ujarnya sambil tertawa.

Seperti itulah ayah, dari dulu beliau tidak pernah membiarkan aku si putri sulungnya ini pergi sendiri. Meski terlihat cuek, diam-diam ayah selalu pesan ke ibu untuk menghubungi aku kalau pulang telat atau pergi bersama teman. Pernah suatu ketika saat pergi menghadiri ulang tahun teman sekolah dan pulang hingga tengah malam, aku melewati jalan tikus. Ternyata ada portal besar di ujung jalan sehingga mobil putra teman yang mengantarku ke rumah tidak bisa melintas karena satpam penjaga portal sudah pulang. Karena takut menghubungi ibu, aku memilih menghubungi ayah saat tengah malam. Betul saja, ayah datang menjemputku dengan setengah tertidur dan beliau hanya berkata “ Al, jangan seperti ini lagi ya. Nanti ibu tahu kamu bisa kena marah.” 

Meski ayah menepati janji untuk tidak mengatakan kepada ibu, namun Arya dengan santai bilang keesokan paginya, “Kak Alya semalam balik jam berapa sih, aku ke kamar jam 11 malam mau pinjem conan terbaru tapi belum balik.” Belum sempat menjawab pertanyaan Arya, lirikan tajam ibu sudah lebih dahulu mendarat ditambah dengan hukuman satu minggu tidak boleh pergi keluar rumah yang langsung aku dapat.

Lamunanku buyar saat seorang senior perempuan tiba-tiba menghampiri dan bertanya, “Kamu kelompok berapa dek?” “Kelompok 7 kak,” jawabku sambil menunduk ke arahnya. “Oh. Berarti lo di kelompok gue dek. Tuh buruan langsung baris ikut di belakangnya ya,” kata si kakak senior dengan kawat gigi dan karet berwarna-warni menunjuk ke sisi kanan lapangan dan menyuruhku segera ke sana. 

 Aku baru menyadari ada cukup banyak mahasiswa baru yang sudah hadir di lapangan. Semua mengenakan pakaian seperti yang aku pakai, kemeja putih, bawahan hitam, sepatu hitam, jas almamater yang masih tercium wangi baru dan terlihat kebesaran, papan nama berwarna-warni sesuai kelompok serta rambut diikat untuk mahasiswa perempuan. Namun saat aku perhatikan dengan seksama, jumlah mahasiswa baru yang hadir lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibanding pria. Jumlah mahasiswa baru pria bisa dihitung dengan jari, di antara ratusan mahasiswa. Di kelompok ini saja hanya ada satu orang pria di antara 6 orang anggota yang telah ada di barisan. Semakin aku memperhatikan sekeliling, kakak senior yang bertugas pun lebih banyak kaum hawa dibandingkan kaum adam.

Krucuk!

Astaga, perutku berbunyi. Aku baru ingat, tadi hanya mengganjal perut dengan sepotong roti kecil yang disiapkan ibu di meja makan. Karena takut telat, akhirnya aku menyetujui permintaan ayah untuk mengantar ke kampus di hari pertama ospek. Padahal rencana awal di hari pertama ospek adalah aku akan berangkat menggunakan bus. Dua hari lalu aku sudah mencoba rute tersebut dan meyakinkan diri bahwa waktu dua jam akan cukup untuk menempuh perjalanan dari rumah. Tetapi karena terlalu panik dan tidur larut malam karena memikirkan seperti apa itu ospek, rasanya jadi mahasiswa dan belajar apa saja nanti saat bangun tidur perutku terasa sakit. Aku tidak keluar kamar mandi selama satu jam, yang berhasil membuat ibu ikut panik dan meyakinkan ayah untuk segera mengantarku ke kampus karena seluruh mahasiswa baru harus berada sebelum pukul 6 pagi. 

Perempuan yang baris di depanku menoleh, rasanya dia mendengar bunyi perut krucuk lapar tadi. Dia tersenyum dan seketika kembali memutar pandangannya ke arah depan. Mungkin dia takut ada senior yang memergoki posisi kepalanya menoleh ke belakang. Namun, sempat aku perhatikan sesaat nama yang tertera di papan namanya : 

Lihat selengkapnya