"Malam di Rangkasbitung selalu punya cara sendiri untuk membangkitkan kenangan. Hujan baru saja reda, menyisakan kabut tipis yang menari di antara pepohonan jati dan atap seng rumah-rumah tua. Dari kejauhan, sayup-sayup terdengar azan Isya’ menggema dari surau kecil di ujung kampung. Di tengah kesunyian itu, Rana duduk di beranda rumah kayu peninggalan kakeknya, menatap jauh ke arah barat — tempat Gunung Karang berdiri gagah, samar-samar terlihat di balik awan kelabu.
Bagi sebagian orang, Gunung Karang hanyalah sebuah gunung tua yang dipenuhi pepohonan dan cerita rakyat. Tapi bagi keluarga Rana, gunung itu adalah bagian dari darah dan sejarah. Kakeknya, almarhum Haji Mardan, dulu dikenal sebagai penjaga makam ulama di lereng Gunung Karang. Sejak kecil Rana sering diajak ke sana — mendengar cerita tentang wali-wali yang berziarah, tentang Sumur Tujuh yang airnya tak pernah kering, dan tentang suara gamelan gaib yang kadang terdengar di malam Jumat Kliwon.
Namun setelah kakeknya meninggal, semua itu seperti ikut terkubur bersama waktu. Hingga malam itu, ketika angin membawa suara yang terasa asing namun akrab di telinganya. Suara samar, seperti bisikan dari dalam kabut.
“Rana ... waktumu sudah tiba ....”
Ia terlonjak. Tak ada siapa pun di sekitar. Hanya nyala lampu teplok yang bergetar karena angin. Tapi jantungnya berdetak kencang. Ia tahu, itu bukan halusinasi. Entah mengapa, nama Gunung Karang tiba-tiba terasa begitu dekat — seperti memanggil.
Rana masuk ke dalam rumah. Di ruang tengah, ia membuka peti tua peninggalan kakeknya. Bau kayu dan kapur barus menyengat. Di dalamnya ada kain sarung lusuh, beberapa kitab kuno beraksara Arab Pegon, dan sebuah peta tua. Peta itu dilipat rapi, sudah mulai robek di ujungnya. Ketika dibentangkan, terlihat garis-garis kasar menggambarkan jalur menuju puncak Gunung Karang. Di bagian atasnya tertulis dengan tinta pudar:
“Tujuh mata air, tujuh ujian, tujuh kebenaran.”