Langit pagi di Rangkasbitung berwarna keemasan ketika Rana tiba di desa terakhir sebelum Gunung Karang — Desa Kaduhejo. Jalan tanah becek karena hujan semalam, dan kabut masih menggantung rendah di antara pohon aren dan bambu yang melingkari desa. Suasana terasa sunyi, hanya terdengar suara ayam hutan dan gemericik air dari parit kecil di pinggir jalan.
Desa itu seperti terjebak di waktu yang lain. Rumah-rumah panggung berdiri dengan dinding anyaman bambu, dan beberapa lelaki tua terlihat duduk di bale sambil menyesap kopi hitam. Rana menatap sekeliling, mencoba mencari petunjuk arah menuju jalur pendakian. Namun setiap kali ia menyebut nama Gunung Karang, tatapan para warga berubah kaku.
Seorang bapak tua berpeci hitam yang duduk di warung kecil menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata pelan,
“Anak muda ... kau mau naik ke sana? Ke puncak?”
Rana mengangguk.
“Sudah lama tak ada yang berani. Terakhir yang mencoba... tak pernah kembali.”
Rana terdiam, mencoba menelan rasa takut yang mulai tumbuh.
“Aku tidak mencari bahaya, Pak. Aku hanya mencari sesuatu yang mungkin ditinggalkan di sana. Tentang Sumur Tujuh.”
Bapak tua itu menghela napas panjang. “Sumur Tujuh bukan sekadar tempat. Ia adalah ujian. Banyak orang mengira itu hanya legenda. Tapi di antara kami, ada yang masih mengingat bagaimana airnya muncul pertama kali, di masa Sultan Hasanuddin membangun kekuatan Banten. Gunung itu dulu tempat para ulama bermunajat. Tapi seiring waktu, jalannya hilang ... hanya orang terpilih yang bisa menemukannya.”
Ia menatap Rana dengan mata sayu, lalu menambahkan,