Vikrama menarik napas panjang begitu pertama kali melangkahkan kakinya keluar dari dalam Bandara. Oksigen yang dihirupnya terasa seperti memanggil kampung halaman dan aroma yang begitu nostalgia untuknya, di mana itu dipenuhi dengan polusi dari orang-orang yang penuh dengan nafsu. Ambisi besar anak-anak muda untuk menaklukkan dunia dan sekelilingnya terasa begitu menggelitik.
Di sekelilingnya terdapat banyak sekali wajah tak asing, letih, dan tempat-tempat usang. Terkadang ini semua terasa sangatlah lucu, tapi terkadang ini juga terkesan sangatlah menyedihkan. Sulit untuk mengatakannya, sulit juga untuk diterima, di mana ada banyak sekali orang berjalan mengelilingi seluruh Bandara dengan wajah datar mereka.
Seorang pria memakai celana pendek berwarna merah yang dipadukan dengan jaket olahraga dengan warna yang sama, sedang bersandar pada sebuah mobil yang terparkir di tepi Bandara. Ketika melihat Vikrama, pria itu segera melambai-lambaikan tangannya pada Vikrama. Karena tubuhnya yang tinggi dan perawakannya yang agak kekar, membuat Vikrama dapat dengan mudah menemukan sosoknya.
Akmal?
Vikrama mengerutkan keningnya seraya terkekeh kecil, tak menyangka dengan perubahan yang begitu signifikan dari saudaranya itu. Dahulu dia terlihat begitu pendek dan kurus, seperti hanya sebuah tulang yang dilapisi dengan kulit. Tapi lihat sekarang, berat dan tinggi badannya meningkat, dan itu membuat saudaranya terkesan jauh lebih keren. Tidak heran ada banyak sekali wanita yang tidak sengaja melintas, teralihkan perhatiannya pada Akmal.
"Vikrama!" Akmal berusaha untuk memeluk tubuh Vikrama, tetapi tidak diacuhkan oleh Vikrama yang hanya berjalan melewatinya saja. Vikrama meninggalkan semua barang bawaannya di dekat Akmal.
Karena merasa kelelahan, Vikrama membuka pintu dan langsung masuk ke dalam mobil, membiarkan Akmal memasukkan semua barang bawaannya ke dalam bagasi mobil seorang diri. Bukan karena dia merasa malas atau kenapa, tapi perjalanan dari Kalimantan ke Jakarta cukup lumayan memakan waktu yang lama, dan benar-benar menguras semua staminanya, tambah saat ini ia harus melanjutkan perjalanannya ke Bandung, tempat yang menjadi tujuan utamanya.
Tak membutuhkan waktu lama bagi Akmal untuk memasukkan semua barang bawaan berat milik Vikrama ke dalam bagasi, ia membuka --menutup pintu seraya kemudian melingkarkan sabuk pengaman ke sekitar area pundak hingga pinggangnya. Setelah memutar kunci mobilnya hingga suara desing mesin mobil terdengar ia mulai menancap gas dan mobil melaju dengan kecepatan normal.
Sesaat Akmal kehilangan fokusnya pada jalanan, menatap Vikrama dengan raut wajah sedih. "Aku turut berduka cita atas apa yang terjadi pada Ayah. Ini mungkin telat, tapi aku benar-benar sedih begitu mendengar kabar kematian Ayah."
"Iya tidak masalah, terima kasih," balas Vikrama singkat seraya tersenyum tipis lalu kembali diam memandangi jalanan dari balik jendela. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan Akmal, tetapi ia tidak tahu harus memulainya darimana dan juga ia terlalu lelah untuk memulai sebuah percakapan. Cukup mengerti jika Akmal juga merasakan apa yang Vikrama rasakan, itu adalah reaksi yang wajar bagi seorang saudara.
Suara dering telepon dalam ponsel yang tergeletak di atas dashboard mobil, menghancurkan sedikit rasa hening yang sedang menyelimuti mereka. Akmal segera mengambil ponsel tersebut dan melihat siapakah orang yang tengah meneleponnya. Ia hanya menaikkan sedikit alisnya dan sebuah senyum muncul dalam wajahnya, lalu menggeser sebuah ikon pada layar.
"Iya Say, ada apa?" Akmal menerima panggilan telepon seraya terus berkendara. "Ini aku lagi jemput Adik aku yang dari Kalimantan ...."
Sekilas Vikrama melihat ke arah Akmal. Dia hanya tersenyum melihat saudaranya bermesraan dengan kekasihnya dan kembali memandang kosong tetes-tetes air hujan yang mulai berjatuhan di luar jendela. Apa yang dilakukan oleh Akmal bukanlah sesuatu yang layak untuk ditiru, karena berkendara seraya menelepon itu adalah tindakan yang sangat membahayakan diri sendiri dan orang sekitar. Pastikan kalian berhenti terlebih dahulu jika ingin menerima sebuah panggilan.
Setelah melihat saudaranya itu, Vikrama memikirkan bagaimana senangnya memiliki seseorang, memeluk seseorang, dan bersama dengan seseorang yang mungkin dapat mengisi kekosongan dalam sehari-harinya. Itu mungkin akan terasa menyenangkan karena dengan itu ia akan sedikit lebih menghargai hidupnya. Karena setiap orang membutuhkan seorang pendukung untuk hidupnya.
Perjalanan yang panjang dan melelahkan. Akmal menghentikan mobilnya begitu tiba di depan rumah. Vikrama segera beranjak keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju bagasi untuk mengambil barang-barang bawaannya. Sebenarnya ia ingin meminta bantuan Akmal untuk membawakan barang-barangnya ke dalam rumah, tetapi ia mengurungkan niatnya begitu melihat Akmal tengah sibuk membalas pesan dari kekasihnya.
Langkahnya tertatih-tatih, ia sudah terlalu lelah. Kini ia telah berada di depan pintu rumah dan mengetuk-ngetuk pintunya dengan pelan. "Permisi, Bu! ini aku Vikrama!"
Suara langkah kaki seseorang terdengar jelas dalam telinganya. Vikrama menegakkan tubuhnya lalu menarik napas panjang, bersiap untuk menampilkan sebuah pertunjukkan bodoh yang telah ia latih sebelumya. Ia tidak tahu apakah harus senang atau sedih, karena saat ini ia tidak bisa melupakan masa lalunya.
Pintu terbuka secara perlahan dari dalam, terlihat seorang wanita yang agak sedikit lebih pendek darinya membukakan pintu. Wanita tersebut langsung melompat, memeluk Vikrama yang segera merentangkan kedua tangannya dengan erat.
"Ibu begitu merindukanmu!"
Vikrama memaksakan wajahnya untuk tersenyum, ia tak merasakan apapun ketika Ibunya berkata seperti itu. Tidak seperti kebanyakan orang yang akan langsung menangis haru ketika mendengarnya, ia sama sekali tidak merasakan apapun. Namun, meski begitu entah kenapa ada sedikit perasaan hangat yang menenangkan dalam lubuk hatinya.
"Aku juga ... aku merindukanmu Ibu."