Sunflower

Siji Getih
Chapter #3

2. Pertemuan

"Aku bahkan tak pernah meminta untuk dilahirkan!"

Membuka kedua matanya.

Vikrama beranjak bangun, menatap sekitar dengan perasaan yang tak dapat dimengerti. Ia menatap ruangan yang berada di sekelilingnya dan terdiam sesaat, memegang kening kepalanya seraya terkekeh pelan. Entah kenapa terasa begitu heran karena sekujur tubuhnya dipenuhi dengan keringat, padahal suasana di pagi hari ini terasa sangatlah dingin, bahkan membuat sekujur tubuhnya menggigil kedinginan.

Turun dari atas kasur dengan perlahan, mengambil handuk dan beberapa peralatan mandi dari dalam tasnya, lalu lekas berjalan pergi menuju kamar mandi.

Perasaannya terasa buruk, kekosongan ini menyiksanya, tetapi setelah kembali mengingat senyuman wanita yang kemarin dilihatnya, perasaannya pun kembali membaik. Ia tersenyum seraya menikmati setiap tetes air berjatuhan membasahi tubuhnya. Aneh, dari semua wanita yang dia temui dan di anggap cantik oleh berbagai orang, hanya dialah yang dapat membuatnya menjadi seperti ini.

Seragam putih-abu, dan sepatu hitam semuanya telah ia kenakan.

Dia berdiri di depan cermin, menyapa dirinya sendiri dengan sebuah senyuman dan kemudian menaikkan kedua alisnya, ia merasa terheran-heran dengan dirinya yang tak bisa tersenyum secara tulus, dia hanya bisa menampilkan kebohongan, senyuman palsu yang tidak bisa membuat dirinya merasa lebih baik. Kesal dengan itu, ia pun lekas keluar dari dalam kamarnya untuk pergi sarapan bersama dengan yang lainnya di dapur.

Di atas meja banyak tersaji makanan-makanan yang menurutnya cukup mewah, dapat disadari bahwa itu bukanlah makanan yang selalu dimasak oleh Ibunya, karena sejak tragedi itu Ibu tidak pernah lagi memasak makanan apapun, Ibu sangat sibuk dengan pekerjaannya, bahkan mungkin sampai tidak memiliki waktu untuk melaksanakan tanggung jawabnya.

Vikrama duduk di atas meja, dan kembali teringat dengan kenangannya dahulu, ketika ayahnya masih berada di sini, dan bercanda ria bersama dengan mereka semua. Ironinya ia merasa lega, melihat dirinya bisa kembali berada di sini dan berkumpul bersama dengan mereka semua.

"Kenapa diam saja Vik?" Tanya Akmal yang duduk di sebelahnya, membuyarkan semua lamunan Vikrama.

Vikrama hanya tersenyum seraya menggelengkan pelan kepalanya, "Hanya terpikirkan beberapa hal," katanya.

Suasana makan sangatlah hening, dan bahkan nyaris tidak ada suara sedikitpun, hanya terdengar suara dentuman sendok ketika beradu dengan sebuah piring. Mereka fokus dengan makanannya sendiri. Vikrama meletakkan sendok makannya di atas piring, lalu beranjak bangun serta tak lupa membawa piring bekasnya ke wastafel. Ia terpaksa menyelesaikan makanannya dengan cepat karena tak ingin berlama-lama terjebak dalam situasi tersebut. Keheningan dengan rasa canggung adalah salah satu hal yang selalu dihindari olehnya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan rasa hening, itu akan memberikan sedikit ketenangan. Namun, rasa canggung adalah suatu hal yang berbeda.

Vikrama duduk seorang diri di atas kursi mobil, menunggu Akmal yang masih sibuk menyiapkan beberapa hal di dalam rumah, tampaknya menjadi seorang guru cukup melelahkan. Ia melamun, meremas-remas ujung jarinya karena merasa begitu gugup dengan sekolah barunya, orang-orang yang berbeda, dan suasana yang mungkin akan sangat berbeda jauh dengan tempat ia bersekolah sebelumnya. Di tengah rasa gugupnya, bayangan wanita itu lagi dan lagi kembali datang ke dalam pikirannya, seolah-olah wanita itu telah hidup dalam pikirannya.

Tersenyum, menatap kosong ke arah luar jendela. Setiap kali mengingat wanita itu entah kenapa selalu membuat jantungnya berdegup kencang. Apakah karena ia akhirnya merasakan cinta? Atau hanya sekedar ketertarikan biasa? Vikrama tidak tahu, karena ia belum pernah sedikitpun merasakan perasaan seperti ini. Jika saja waktu itu ia memberanikan dirinya untuk menghampiri wanita itu, dan mengajaknya berkencan, ia ingin tahu apakah Wanita itu akan menerima ajakan dari pria suram seperti dirinya?

Akmal keluar dari arah pintu rumah dan berjalan menuju mobil dengan susah payah, ditangannya terdapat banyak sekali kertas-kertas yang mungkin berisikan ujian dari setiap murid yang ia ajar.

"Kamu terlihat kelelahan?" Tanya Vikrama setelah Akmal masuk ke dalam mobil.

Akmal menyimpan tumpukan kertas tersebut di kursi belakang, "Iya. Tapi aku harus melakukan tugasku sebagai seorang guru," ucapnya seraya melingkarkan sabuk pengaman pada tubuhnya.

Sepanjang perjalanan tidak ada satupun yang berbicara, Akmal fokus dengan jalanan, sementara Vikrama masih sibuk memikirkan wanita yang kemarin dilihatnya, hingga suatu ketika Akmal memulai sebuah pembicaraan, dan menghancurkan keheningan yang sedang menerpa mereka.

"Bagaimana perasaanmu?" Tanya Akmal masih tetap fokus mengawasi jalanan. "Sekolah baru? Lingkungan baru? Suasana baru?"

"Merasa sedikit gugup, mungkin," kata Vikrama seraya menatap wajah Akmal dengan senyuman di wajahnya.

"Gugup?" Akmal terkekeh pelan, dan menatap wajah Vikrama sekilas. "Iya itu suatu hal yang biasa. Bahkan ketika pertama kali aku menjadi seorang guru, aku merasa hari itu adalah peperangan."

"Perumpamaan-mu terlalu berlebihan," Vikrama terkekeh lucu, lalu menghadapkan pandangannya ke depan. "Bagaimana rasanya ... menjadi seorang guru?"

"Entahlah, kamu harus merasakannya langsung, mendengar itu dari orang lain sangatlah berbeda. Kamu hanya akan mendengarkan kehebatan dan keseruannya, tapi kamu tidak akan pernah melihat bahwa semuanya tidak jauh berbeda. Terkadang itu semua menyenangkan, tapi terkadang juga itu tidak. Itu semua tergantung dengan persepektif-mu sendiri. Dan menurutku, bukankah menyenangkan melihat anak-anak pergi ke sekolah dan menikmati masa remaja mereka sebelum akhirnya mereka menjadi sosok yang akan menaklukan dunia di masa depan?"

"Iya aku tahu. Anak-anak nakal seperti merekalah yang akan menentukan nasib masa depan umat manusia."

Sesampainya di sekolah Akmal langsung memberhentikan mobilnya di depan pintu masuk, yang langsung terhubung dengan lorong sekolah, ia melakukan itu agar Vikrama tidak perlu ikut bersamanya hingga menuju ke tempat parkir. Sebab, Vikrama harus segera menemui kepala sekolah terlebih dahulu sebelum pergi masuk ke dalam kelasnya.

"Beritahu saja aku jika kamu membutuhkan sesuatu!"

"Iya, terima kasih!" kata Vikrama tersenyum, menatap mobil yang dikendarai Akmal telah berjalan pergi dan menghilang dari pandangannya. Dia merasa begitu gugup dan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Vikrama masuk ke dalam kelas bersama dengan Kepala Sekolah yang baru saja ditemuinya sebelumnya.

"Pagi anak-anak, mulai hari ini kita akan kedatangan teman baru."

Lihat selengkapnya