Sunflower

Siji Getih
Chapter #4

3. Takdir

Sesak, asap menggumpal, menutup seluruh isi ruangan bagaikan kabut.

Tarani tersungkur di tepi sudut ruangan seraya menggenggam sebotol alkohol yang hanya menyisakan beberapa tetes lagi. Matanya terlihat sayu dan mulai ada banyak sekali bintang bergerak, berputar-putar, mereka ada di mana saja, ternyata meminum banyak alkohol bukanlah sesuatu yang baik, tapi apakah sedari awal semuanya memang sudah berjalan dengan baik?

Seorang pria membuka pintu, dan berjalan masuk ke dalam—menutup rapat pintunya kembali dengan langkah terburu-buru, tangan kanannya terlihat tengah memegang sekantung plastik kecil, yang di dalamnya berisi sesuatu yang diinginkan oleh semua orang.

Lelaki itu membuka kantung plastiknya yang berisi tembakau dan narkotika sejenis marijuana. Dan meletakkannya di atas meja, agar dapat dengan mudah dijangkau oleh semua orang. Anak-anak muda selalu berpikir bahwa mengonsumsi barang-barang seperti ini akan membuat mereka dengan cepat diakui oleh anak-anak seusianya, melakukan suatu perbuatan yang menyimpang akan membuat mereka merasa bahwa itu adalah sesuatu hal yang keren.

"Mana Deni?" Tanya salah seorang Pria.

"Dia lagi ada urusan dulu sebentar," jawab Pria yang membawa sekantung plastik itu. "Kata Deni, kalau kalian mau pakai, ambil aja langsung, gak perlu nunggu dia dulu."

Tarani beranjak bangun, dan hendak mengambil satu untuk dirinya, tetapi entah kenapa ketika hendak bangun kepalanya tiba-tiba mendadak sakit dan terasa begitu mual, ingin segera muntah. Makanan yang telah tercerna dengan baik tiba-tiba memberontak dan berusaha untuk keluar. Ia terpaksa harus kembali duduk, dan meminta tolong pada salah satu temannya untuk membawakan satu untuknya.

"Tolong buatkan satu untukku!" Pintanya, dengan mata yang seperti orang mengantuk, karena terlalu banyak menghisap rokok suaranya juga menjadi terasa berat dan sesak. "Aku minta satu botol lagi!"

Tarani mengambil sebotol alkohol dan sebatang rokok yang telah dilintingkan oleh rekannya, dan di dalamnya tentu saja telah di isi dengan ganja. Ia menempelkan salah satu ujung rokok pada mulutnya, dan mulai membakar pada ujungnya yang lain, menghisap dengan cepat secara berulang, lalu menghembuskan asap terakhirnya dengan perlahan.

Terasa begitu nyaman dan menenangkan, kadar hormon kebahagiaan dalam dirinya kembali meluap, dan menimbulkan euforia kepada dirinya.

Terdengar suara seseorang mengetuk pintu ruangan dengan sangat keras berulang kali. Suara ketukan itu semakin keras setiap kalinya. Suaranya menggema dan membuat semua orang yang berada di dalam ruangan saling menatap waspada, mereka berpikir itu adalah seorang aparat yang siap menyergap mereka.

"Siapa itu?" Tanya salah seorang pria, yang kemudian saling bertukar pandang dengan yang lainnya.

"Apa ada seseorang yang mengikuti-mu?" Kali ini tanya dari seorang wanita, raut wajahnya dipenuhi dengan rasa takut.

Gelengan kepala pria itu terlihat meragukan. Semua orang nampak sudah begitu pasrah dan bersiap-siap dengan kemungkinan yang akan terjadi, berbeda sekali dengan Tarani yang masih saja asyik merokok di pojok ruangan. Dia sangat menikmatinya. Tarani sudah lupa dengan lingkungan sekitarnya, dan hanya fokus dengan asap rokok dan alkohol yang dia minum.

Suara ketukan itu terdengar semakin cepat, cepat dan keras, tak ada satupun orang yang berani membuka atau sekedar mengintip siapa yang sedang berada diluar. Mereka tetap terdiam di tempatnya. Mereka tidak bisa melarikan diri, pintu itu adalah satu-satunya akses keluar-masuk bagi mereka. Kini ketukan itu berhenti, disaat suasana menjadi hening dan merasa begitu lega, tiba-tiba pintu tersebut terlepas dari tempatnya.

Semua orang yang berada di dalam ruangan semakin cemas, karena pintu rapuh itu didobrak secara paksa oleh seorang pria. Mereka berpikir mungkin ini akan menjadi akhir dari masa muda, dan mereka sama sekali tidak menyesal, semua hal yang mereka lakukan selama ini terasa menyenangkan. Mereka telah bersiap mengatakan selamat tinggal pada kehidupan sosial.

Siluet seorang pria muncul, badannya tinggi dan hanya tersisa sedikit lagi bagi kepalanya untuk menyentuh dinding yang berada di ambang pintu. Dia berjalan dengan tegap dan matanya melirik tajam ke arah mereka yang sedang berkumpul di atas kursi. Kini matanya melirik-lirik seperti tengah mencari seseorang, dan matanya kemudian tertuju pada Tarani yang tengah duduk seorang diri pada tepi sudut ruangan.

Semua orang yang berada di dalam ruangan dapat bernapas lega, karena bukan orang-orang dari pihak keamanan yang memergoki mereka.

"Jangan membuat kami takut Dimas!" Teriak seseorang. "Kamu hampir membuat kami terkena serangan jantung!"

"Berisik!" Dimas kini berdiri tepat di depan Tarani, dan memutar kepalanya sedikit ke samping. "Di mana Deni?"

Tidak ada yang menjawab. Setiap orang kembali pada urusannya masing-masing. Dimas hanya bisa menggeleng pelan melihat situasi yang berada di hadapannya saat ini, ia ingin sekali melaporkan perbuatan-perbuatan tercela mereka, tetapi jika dia melakukan itu Tarani juga akan ikut terseret.

Dimas menarik lengan Tarani hingga rokok yang berada di sela-sela jarinya terlepas, dan menyeretnya keluar dari dalam ruangan secara paksa. Tentu saja ia melakukan itu dengan lembut. Tarani memberontak dan enggan ketika lengannya ditarik, tapi apalah daya, dia tidak memiliki sedikitpun tenaga untuk melawan, apalagi perbedaan fisik antara seorang pria dan wanita membuat Tarani semakin sulit untuk melawan.

"Kenapa kamu menjadi seperti ini?" Kata Dimas, merasa begitu prihatin dengan kondisi Tarani saat ini. Dulu dia adalah anak baik yang selalu ceria, manja, egois, dan ... dia merasa jika sekarang bukanlah Tarani yang ia kenal di masa lalu. Dia telah menjadi seseorang yang berbeda, senyuman seorang anak yang dilihat oleh Dimas waktu itu terlihat sangat berbeda.

"Ini sakit, lepaskan!" Tarani mengatakan itu dengan kondisinya yang masih dalam keadaan setengah mabuk. "Jangan menggangguku Dimas! aku baru saja akan menyelesaikan rekor minum-ku."

Lihat selengkapnya