Sunflower

Siji Getih
Chapter #5

4. Teman Lama

Kehidupan, apa arti dari semua itu? Tidak pernah ada rasa baik entah didalam ataupun di luarnya, itu semua hanya berisi dengan kekosongan-kekosongan yang membuat kita selalu tersenyum seperti biasanya. Saat kita sedih ataupun bahagia, pada akhirnya kita jadi tak bisa membedakan kedua hal itu, semuanya terlihat sama dan itu membuat hidup tak memiliki arti sama sekali.

Malam terasa sangat dingin, asap-asap kecil keluar dari setiap hembusan napasnya. Vikrama berjalan, menyusuri setiap jalan, tanpa mengetahui ke mana arah rumahnya yang sebenarnya. Apakah itu tempat di mana ibu berada? atau ke tempat di mana ada seseorang yang memikirkannya? Cukup menyedihkan karena selama ini tak pernah ada tempat yang dapat ia sebut dengan rumah.

Dalam batinnya ia sangat ingin tahu, kenapa orang-orang dapat bahagia dengan ketidakjelasan hidupnya?

Dering suara telepon, tidak tahu lagi harus pergi ke mana, langkah demi langkah telah diarungi, tetapi ia tetap tak dapat menemukan jalan untuk kembali pulang. Sudah begitu lupa dengan jalanan di kota ini, setiap persimpangan dan jalur kecil, tidak ada satupun yang membekas dalam ingatan kecilnya.

"Hei!" Kata Vikrama begitu Akmal menerima panggilannya. "Kamu di mana? Bisa tolong Jemput aku kemari! Aku sudah mengirimkan lokasinya padamu di pesan."

"Iya sepulang dari rumah pacarku, aku akan ke sana!" Ucap Akmal, dan menutup panggilannya.

Vikrama mengusap-usap kedua tangannya seraya memberikan tiupan kecil pada sela-sela tangan untuk memberikan sedikit kehangatan pada tubuhnya. Dingin, tapi ini masih lebih baik, bisa melihat kembali dari ketiadaan bukanlah sesuatu yang harus disesalkan, dan orang-orang tidak akan pernah memahaminya. Terkadang beberapa orang hanya ingin dipahami, karena memahami itu sangat sulit untuk otak mereka yang hanya bisa menilai. Dan anehnya, mereka merasa takut ketika tidak ada satupun yang dapat mereka pahami.

Entah sudah berapa lama waktu terlewati, dan Akmal masih belum tiba. Vikrama duduk di dekat sebuah pohon yang berada di pinggir jalan dan melihat ada banyak sekali wanita memakai pakaian yang minim dan terbuka, mengumbar semua berlian dalam dirinya. Pundak dan paha mereka terlihat indah, sebagai seorang pria Vikrama tak sengaja melihat itu semua.

Dia terkekeh, "Apa mereka tidak akan masuk angin? Aku saja dengan pakaian tertutup seperti ini sudah merasa kedinginan," katanya, dan melihat sebuah mobil berhenti di depannya.

Kaca jendela dari mobil tersebut turun secara perlahan, dan terlihat Akmal sedang duduk pada kursi pengemudi. Dengan cepat Vikrama berjalan masuk ke dalam mobil tersebut, dan duduk di kursi depan samping Akmal. Ia menghela napas panjang begitu Akmal menjalankan mobilnya, tubuhnya terasa begitu lelah dan kedinginan, dan Akmal melihat ke arah Vikrama dengan raut wajah menyebalkan.

"Apa yang sedang kamu lakukan di tempat seperti ini?" Tanya Akmal terkekeh pelan ketika melihat-lihat area di sekitarnya yang banyak terdapat klub malam. "Mencoba pergi ke klub untuk mendapatkan beberapa gadis? aku tidak akan melarang kamu, tapi setidaknya ganti bajumu terlebih dahulu. Pergi ke tempat ini dengan seragam sekolah hanya akan membuatmu ditangkap oleh pihak berwajib dan dikeluarkan oleh sekolah."

"Mana mungkin. Kenapa aku harus pergi ke tempat mengerikan seperti itu?" Vikrama memalingkan wajahnya ke samping jendela. "Tempat di mana mereka merasa hebat dan berteriak, inilah masa muda. Tanpa menyadari apa yang mereka lakukan itu hanyalah kesia-siaan."

"Ayolah!" Akmal terlihat senang, ini saat-saat yang ia tunggu, saat-saat di mana dia akhirnya menjadi seorang kakak yang memberikan saran pada satu-satunya adiknya. "Tidak semuanya seperti itu, ok. Aku juga bertemu dengan pacarku di tempat itu. Jadi, jangan terlalu menekan dirimu dan mulai nikmati saja."

"Apa seorang guru pantas berbicara seperti itu?" Tanya Vikrama dengan sedikit terkekeh. Ia bersandar, dan menyimpan tangannya pada jendela mobil yang sedikit terbuka, membiarkan semilir angin berhembus menerpa tubuhnya. "Aku yakin bahwa kamulah yang akan bermasalah, bukan diriku."

"Lupakan saja itu, diluar sekolah aku adalah Kakakmu!" Akmal sesekali menatap ke arah Vikrama, ia tidak boleh kehilangan fokusnya pada jalanan. "Kamu terlihat menyedihkan. Kamu harus mulai menikmati hidup ini dan berbahagialah. Aku tahu itu terkadang tidak berjalan dengan mudah, tapi tidak ada salahnya untuk mulai menjadi bahagia."

Mereka saling menatap, hening, Akmal kembali fokus dengan jalanan di depannya dan Vikrama hanya menatap kosong pada arah yang sama.

"Bukannya aku tidak ingin berbahagia." Vikrama berkata dengan raut matanya yang kosong, meratapi dirinya yang sudah tak memiliki keinginan apapun. "Aku hanya tidak memiliki sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang menjadi alasanku untuk hidup. Aku hanya ingin tahu adakah alasan dari semua ini. Kenapa harus ada dalam ketiadaan?"

Dalam, Akmal tak dapat menjawabnya. Itu bukan sesuatu yang dapat Akmal katakan dengan saran-saran bijaknya atau dengan jawaban-jawaban asal yang mungkin dapat sedikit membantu, karena satu-satunya jawaban adalah Vikrama harus menemukan jawaban itu sendiri. Alasan dari sebuah keberadaan tidak bisa kita dapatkan dengan mudah, seperti bertanya kepada yang lain, karena setiap manusia memiliki alasan yang berbeda untuk keberadaannya.

Kenapa kita harus menderita? Hanya dengan memikirkannya, orang-orang fanatik akan berseru atas keyakinan-keyakinan yang tidak dapat dipahami oleh diri mereka sendiri. Para fanatik terkadang memaksakan kehendak mereka dalam penyampaiannya dan melupakan bahwa kita semua memiliki ekualitas.

"Apa ibu dan siapalah dia, belum pulang?" Tanya Vikrama begitu tiba di dalam rumah yang sunyi dan gelap, tidak ada satupun lampu penerangan yang menyala di dalam rumah dan itu membuat suasana di dalamnya sangatlah gelap. Mereka tiba dengan cepat, karena jarak antara rumah dan tempat menjemput Vikrama ternyata tak begitu jauh, hanya melewati dua persimpangan dan mereka sampai.

Lihat selengkapnya