Sunflower

Siji Getih
Chapter #9

8. Putus Obat

Berada di sebuah taman yang rindang dengan pepohonan lebat, angin-angin yang berhembus kencang meniup daun-daun berguguran dari dahannya di bawah pancaran sinar matahari yang cukup terang, fenomena itu membawa rasa nyaman tersendiri baginya. Gelak tawa keluar dari orang-orang yang berada di sekitarnya, sudah lama ia tidak merasakan perasaan seperti ini. Berkumpul bersama dengan keluarganya yang manis, tertawa dan membicarakan sebuah obrolan sederhana. Namun, secara perlahan pandangannya menjadi kabur dan gelap. Ia berusaha meraih tangan seorang pria yang hendak menarik tangannya, tapi ia tak dapat menggapainya. Ia tenggelam, terhisap ke dalam sebuah lautan yang begitu gelap.

Ayah ... Ibu ....

"Kakak!"

Teriakan Tarani menggema ke seluruh penjuru kamar. Ia terbangun, dan terdiam sesaat, merasa tak percaya karena itu semua hanyalah sebuah mimpi, hingga akhirnya ia tersadar ketika mengamati ruangan di sekitarnya, mengamati setiap benda yang berada di dalam ruangan, dimulai dari lemari, jendela, dan langit-langit yang sama sekali tidak terlihat begitu familiar.

Di sekitarnya terdapat seorang pria yang terduduk lelah seraya menyandarkan punggungnya di tepi ranjang. Tarani merasa penasaran dengan pria yang di depannya, ia secara perlahan bergerak, mendekat ke tepian ranjang dan memiringkan sedikit tubuh bagian atasnya untuk melihat wajah pria itu secara jelas.

Sebelum Tarani menatapnya, pria itu sudah menatapnya terlebih dahulu dan mengatakan: "Kamu sudah bangun?"

Tarani dengan segera mengangkat kepalanya, "I ... iya," balasnya terbata-bata, menjadi salah tingkah karena merasa malu dan terkejut ketika Vikrama menatapnya.

"Aku sungguh mengira kamu tidak akan pernah terbangun kembali."

"Apa maksudmu aku sudah mati?" TaraniĀ  mengatakannya dengan nada sedikit kesal seraya melipat kedua tangannya di dada. Ia ingin marah, tapi rasa sakit di kepalanya kembali muncul dan lebih memilih untuk tidak memperpanjangnya. "Di mana ini?"

"Kamu berada di rumahku. Ketika sedang dalam perjalanan pulang, aku tak sengaja menemukanmu tergeletak tak sadarkan diri di tepi jalan."

Tak sadarkan diri? Tarani mencoba mengingat alasan bagaimana dia bisa menjadi seperti itu. Tapi ketika mencoba berpikir keras, ia merasa kepalanya akan segera meledak. Perutnya juga terasa mual dan langsung memuntahkan sisa-sisa makanan ke dalam sebuah ember yang sepertinya sudah disiapkan oleh Vikrama sebelumya.

Tarani membersihkan sisa muntahan tadi di sekitar mulutnya dengan tangan kanannya dan kembali bertanya, "Kamu siapa?" Ia merasa begitu familiar dengan wajah seorang pria yang berada di hadapannya ini, ia seperti pernah bertemu dengannya di suatu tempat, hanya saja dia tidak dapat mengingatnya.

"Aku?" Vikrama membalikan wajahnya hingga mata mereka saling menatap, dengan menampilkan senyuman terbaiknya, Vikrama kembali memperkenalkan dirinya. Agak sedikit menyakitkan karena dia sudah dua kali dilupakan oleh Tarani. "Namaku Vikrama Mukti, murid baru yang menjadi teman sebangkumu di sekolah."

"Oh, pantas saja aku merasa pernah melihatmu." Tarani meraba-raba tubuhnya, ia merasa tidak begitu nyaman dan rasa dingin ini seolah-olah menusuknya secara langsung. Dan ia tersadar jika baju yang ia pakai sekarang, sangat berbeda dengan baju yang ia kenakan kemarin. Bahkan saat ini ia tidak memakai dalaman sama sekali. "Jangan bilang kamu yang menggantinya!"

Vikrama menaikkan kedua pundak dan alisnya secara bersamaan. "Maaf." Hanya itu saja kata yang dapat terucap dalam mulutnya. Vikrama sebenarnya sudah begitu pasrah, dan telah bersiap diri jika pada akhirnya Tarani akan memukulinya dan menjadi benci terhadapnya. Karena telah melepas pakaian di tubuhnya tanpa izin, itu adalah reaksi yang wajar bagi setiap wanita jika di perlakukan seperti itu. Tapi, Tarani terlihat tidak memperdulikannya dan kembali merebahkan tubuhnya ke atas kasur, seolah-olah itu bukan suatu masalah besar yang harus dipermasalahkan.

"Kamu tidak marah?" Tanya Vikrama. "Kamu bisa memukulku kalau kamu mau!"

"Untuk apa?" Tarani mengangkat telapak tangannya, menatap sekaligus membayangkan berapa banyak hal yang telah ia lalui. "Aku tidak punya banyak waktu untuk mengkhawatirkan hal-hal sepele semacam itu."

"Ini bukan masalah tentang kamu memiliki waktu atau tidak ... ini juga bukanlah sesuatu yang sepele ...." Vikrama bangkit dari duduknya dan melihat ke arah Tarani yang hanya dibalut oleh pakaian tipis miliknya. ".... Sebagai seorang wanita sudah sewajarnya kamu harus marah akan hal itu, dan sebagai seorang manusia kamu harus lebih menghargai dirimu!"

"Di dunia yang hanya bisa menilai ini, apakah sebegitu pentingnya menghargai sesuatu?" Tanya Tarani, melirik tajam ke arah Vikrama. "Bahkan kami para wanita tidak bisa hidup dengan aman di dunia ini, dan sebagai seorang manusia kami tidak pernah menghargai siapapun. Itulah kenapa ada banyak sekali penderitaan di dunia ini."

Vikrama sedikit menurunkan tubuhnya, posisi tubuhnya seperti orang yang rukuk dan hal itu membuat posisi wajah mereka begitu dekat, saling memandang satu sama lain untuk waktu yang cukup singkat. "Aku akan menyiapkan sarapan. Sebelum makan pergilah mandi sana! aku sudah menyimpan handuk untukmu di atas meja. Bau alkohol dan rokok dalam dirimu menyengat hidungku!" perintah Vikrama seraya berjalan keluar dari dalam kamarnya dan membiarkan pintu setengah terbuka.

"Pria mesum, bahkan dia sampai mencium aroma tubuhku." Tarani mengendus aroma tubuhnya yang ternyata memang benar bau alkohol dan rokok. "Sialnya dia benar."

Suara gemercik minyak yang dipanaskan, dan suara air mendidih di kompor sebelahnya, Vikrama dengan santainya memotong sayuran segar hingga potongan terkecil kemudian memasukkannya ke dalam panci yang telah berisi air mendidih tersebut. Tak lupa juga ia memasukkan telur yang berada di dalam mangkuk, yang telah ia kocok dan diisi dengan berbagai macam bumbu ke atas wajan yang telah berisi minyak panas.

Meski tak selihai dan sebaik kedua orang tuanya, Vikrama dapat memasak masakan sederhana dengan baik. Makanan yang selalu ia buat ketika Ayahnya sedang jatuh sakit atau ketika tidak ada seorang pun di dalam rumah. Karena itu Vikrama selalu merindukan masa-masa sebelum kesalahan ini dimulai, masa-masa di mana yang ia tahu hanyalah kesenangan dan kebahagiaan. Seandainya bisa memutarbalikkan waktu, Vikrama berharap bahwa semuanya akan berjalan lebih baik.

Lihat selengkapnya