Sunflower

Siji Getih
Chapter #14

13. Toko Roti

Sore hari, di tengah cuaca hujan yang turun dengan begitu derasnya, bahkan terkadang terdengar beberapa kali kilatan petir dan gemuruh guntur yang membuatnya semakin menakutkan untuk orang-orang berpergian keluar. Vikrama duduk seorang diri di sebuah toko roti milik keluarga Rhea, membaca sebuah buku dengan nyamannya. Ditemani segelas cokelat panas dan sepotong roti yang ukurannya lumayan cukup besar dan hangat, membuat suasana terasa menjadi lebih nyaman. Jika saja sekarang tidak hujan, kemungkinan tempat ini akan dipenuhi oleh banyak pelanggan. Dimulai dari anak-anak, remaja, orang dewasa, dan bahkan lanjut usia rela mengantri panjang hanya untuk sebuah roti buatan keluarga Rhea. Terkadang beberapa dari mereka menetap, tapi terkadang juga ada juga yang membawanya pulang, dan semakin canggihnya zaman bahkan ada banyak orang yang memesannya lewat internet.

Ketika sedang asyik membaca bukunya, tiba-tiba Ayah Rhea duduk di kursi yang berada di hadapannya, menatap Vikrama dengan senyuman yang ramah dan sedikit canggung, "Bagaimana, apakah kamu menyukainya?" Tanya Ayah Rhea, memulai pembicaraan dengan sebuah basa-basi sederhana.

"Rasanya tidak berbeda jauh dibanding dahulu."

Vikrama sedikit memaksakan senyuman di wajahnya, karena ia masih merasa tidak nyaman dengan sebuah konflik yang terjadi padanya dahulu dengan Ayah Rhea. Dan karena bergaul dengannya juga Rhea menjadi anak yang nakal; sering merokok dan mabuk, bahkan pernah tidak pernah pulang seharian penuh. Dan itu belum semuanya, karena ada banyak hal-hal yang memang harus ia tekan ke dalam bawah sadarnya.

"Bagaimana kabar kalian di sekolah? Apakah masih akrab seperti biasanya? Aku mendengar dari putriku jika kalian berada di sekolah yang sama saat ini." Ayah Rhea sadar bahwa Vikrama masih merasa bersalah atas apa yang terjadi pada Rhea di masa lalu. "Kamu tidak perlu merasa bersalah mengenai apa yang terjadi pada Rhea di masa lalu. Itu bukan kesalahanmu, tapi itu adalah kesalahan kami. Jika saja waktu itu tidak ada kamu, mungkin saja sekarang kami telah kehilangan putri kami tercinta satu-satunya."

"Kami melakukan kesalahan. Kami cukup keliru dengan mengira itu akan membuatnya bahagia. Kami adalah orang yang paling dekat dengannya ketika ia menderita. Tapi pada kenyataannya, kamilah penyebab penderitaannya."

Senang rasanya bisa mendengar pernyataan tersebut, hanya sedikit orang tua yang dapat berkata maaf dan mendengarkan sebuah saran dari seorang anak kecil sepertinya. Kebanyakan di antara mereka tidak mengerti dan cukup bodoh karena menyuruh anak-anak untuk mengerti dan jangan menjadi egois, tapi satu hal apa yang dimengerti oleh anak-anak? Siapa sebenarnya yang egois di sini? Melakukan suatu hal bodoh seperti Ibunya yang egois dan lebih memilih melakukan perceraian dengan dalih sudah tak saling mencintai.

Untuk apa kalian menikah jika rasa cinta kalian bisa hilang semudah cinta anak SMA?

"Saya senang mendengarnya. Tapi perlu diingat bahwa semua yang telah Anda lakukan di masa lalu tidak akan pernah hilang, meskipun kata maaf telah keluar dari dalam mulut Anda. Hati Rhea mungkin memaafkan, tapi bagaimana dengan pikirannya? Melupakan itu sangatlah sulit dan dalam keadaan tertentu terkadang itu kembali muncul menghantuinya," kata Vikrama, berkaca pada dirinya sendiri yang juga selalu merasakan hal tersebut.

Ayah Rhea tersenyum lebar, meskipun kata-kata yang dilontarkan oleh Vikrama terhadap orang tua sepertinya terkesan begitu kasar. Tapi itu adalah kebenaran yang tak bisa ia sangkal, lagipula dirinya sendiri sudah mengerti akan hal itu dan tak masalah jika Rhea tidak akan pernah memaafkannya. Baginya, dapat melihat Rhea tersenyum bahagia sampai akhir hayatnya sudah lebih dari cukup daripada melihat Rhea menjadi orang yang bertabur harta, tapi hidup dengan penuh penekanan.

"Iya, aku tahu." Ayah Rhea melirik ke arah pintu di belakang kasir. "Aku dan istriku telah sadar, dan kami memulainya kembali dari awal. Terkadang menjadi egois itu perlu, tapi tanggung jawab membuat kami harus melakukan pengorbanan. Dan kami mengorbankan keegoisan kami."

"Sejujurnya kami agak sedikit terkejut pada saat itu." Ayah Rhea tersenyum. "Secara tiba-tiba ada seorang anak kecil datang kepada kami, dengan wajahnya yang kesal anak itu marah, mengutarakan pendapatnya. Pada awalnya aku juga merasa kesal karena seorang anak kecil yang datang entah darimana, berusaha untuk melerai kami yang merupakan orang dewasa."

"Iya aku terlalu emosi saat itu."

"Vikrama?" Ucap Tarani tiba-tiba, dan mengalihkan pandangan mereka berdua, menatap ke arahnya dengan raut wajah yang berbeda. Vikrama menatap dengan rasa heran karena merasa familiar dengan suara orang yang memanggilnya, sementara Ayah Rhea sedikit terkejut, menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum.

"Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" Tanya Vikrama dengan hati berbunga-bunga.

Ayah Rhea beranjak bangun, "Kalau begitu aku permisi dulu, nikmati waktu kalian!" Katanya, kemudian berjalan pergi meninggalkan Vikrama berdua bersama dengan Tarani.

Dengan memakai pakaian sederhana, setelan kaus putih oversize dan celana hitam pendek, memamerkan paha putih mulus dalam dirinya yang mungkin akan menarik mata para pria penuh nafsu. Vikrama merasa begitu nostalgia dan kembali terpukau akan keindahannya. Ini seperti saat dimana Vikrama tak sengaja melihat ke arah Tarani, dan langsung dibuat terpana olehnya.

Tarani duduk di kursi yang telah ditinggalkan oleh Ayah Rhea dan melihat sebuah buku tergeletak di atas meja, "Buku apa ini?" Tanyanya seraya mengambil buku itu dan memperhatikannya secara seksama. Ketika membuka halaman pertama, ia langsung menutup bukunya kembali dan menyimpannya di atas meja. Tidak ada ketertarikan sedikitpun untuknya.

"Cerita kebahagiaan ini membuat kepalaku sakit." Tarani menggosok-gosokkan tangannya, cukup peka Vikrama dengan segera melepas jaket dan memberikannya pada Tarani. Meski hanya sebuah jaket olahraga berwarna merah, tapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya merasa hangat.

Lihat selengkapnya