Suasana di dalam rumah sangatlah mencekam, tidak ada satu orangpun yang berbicara, hening, Ibu dan Feri masih duduk di atas kursinya, sementara Vikrama sibuk membalas pesan seseorang dengan ponselnya. Dia merasa tidak begitu peduli dengan apa yang telah terjadi, karena menurutnya situasi ini tidaklah aneh, malah wajar saja jika Akmal bereaksi seperti itu, mengingat dengan kejadian di masa lalu.
"Apa yang aku ucapkan salah?" Tanya Ibunya, entah pada siapa, tetapi yang jelas air mata menetes di wajahnya. "Aku mengatakan itu semua untuk kebaikan dia sendiri."
Vikrama dan Feri masih diam membisu.
"Hei Feri, katakan padaku, apa ini salahku?" Kali ini Ibu menatap ke wajah Feri lalu setelah itu Ibu membalikan wajahnya ke arah Vikrama yang masih sibuk dengan ponselnya. "Vikrama, apa yang dilakukan ibumu ini salah? Apakah ada kata yang Ibu ucapkan salah? Stau dari awal semua ini salah Ibu?"
Ibu mengerti bahwa itu salahnya, tapi Vikrama merasa kesal karena Ibu masih mempertanyakan itu kembali, seolah-olah dia sedang mencari pembenaran atas kesalahan yang telah dia sadari. Dan Feri masih tetap diam, dia sepertinya menepati janjinya untuk tidak ikut campur ke dalam masalah mereka bertiga.
"Hei, kenapa kalian diam!" Tanya Ibu kembali, kemudian beranjak bangun dari duduknya, memegang kerah Feri seraya menggoyang-goyangkan kerahnya dengan kasar. "Feri katakan padaku, jika ini semua hanyalah sebuah kesalahpahaman oke? Aku mengatakan itu demi kebaikan Akmal dan masa depannya."
Tetapi Feri tetap diam, dan hanya memalingkan wajahnya. Ibu yang tak mendapat jawaban dari Feri, kini berjalan cepat ke arah Vikrama dan menggambil ponsel dari tangan Vikrama secara paksa.
"Vikrama berhenti bermain handphone, dan katakan bahwa apa yang dikatakan oleh Ibu tidaklah salah?"
Vikrama menghembuskan napas kasar, "Setelah Ibu menghina pacarnya di depan matanya sendiri, apakah Ibu masih berpikir bahwa apa yang Ibu lakukan itu benar? Atau Ibu mengira Akmal salah paham dan tidak memahami maksud dari perkataan Ibu yang sebenarnya?" Tanyanya.
"Tapi Ibu melakukan itu semua demi kebaikannya-"
"Tidak!" Vikrama memotong perkataan Ibunya. "Ibu melakukan itu hanya untuk keegoisan Ibu sendiri, iya meskipun aku juga sadar jika yang Ibu katakan itu tidaklah salah dan cukup merasa kesal karena aku harus mengakuinya."
"Lalu kenapa?"
"Itu karena Ibu menilainya secara subjektif," kata Vikrama seraya menekan kalimatnya. Dia mengambil ponselnya secara paksa dari pegangan Ibunya yang masih merasa terguncang dengan apa yang telah terjadi. Vikrama memutuskan untuk masuk ke dalam kamarnya, karena dia merasa akan cukup merepotkan untuk terus meladeni Ibunya.
"Tunggu apa maksudmu? Subjektif? ibu hanya mengatakan fakta bahwa wanita yang di bawa oleh Akmal itu tidak akan membahagiakannya! Apa kamu juga sama-sama berpikir bahwa keluarga dapat dibangun dengan cinta saja?" Teriak Ibu, tetapi Vikrama tidak peduli dan terus melangkah kakinya. Feri yang merasa kasihan memutuskan membawa Ibu masuk ke dalam kamarnya dan menenangkannya.
"Aku tidak ingin mendengar kalimat semacam itu dari seseorang yang bahkan pernah mengkhianati pasangannya," gumam Vikrama.
Di dalam kamarnya, Vikrama sedikit memikirkan kembali tujuannya sebelum datang ke tempat ini. Dia sudah tidak memiliki waktu lagi, dan harus segera memutuskan pilihan seperti apa yang harus dia ambil. Kali ini dia telah mendapatkan sedikit pencerahan, melihat reaksi Ibu sebelumnya, dia sudah paham bahwa kini mulai agak sedikit berubah.
"Untuk diriku di masa lalu, kira-kira, apa pilihan yang akan kamu ambil?" Tanyanya pada jutaan bintang yang sedang bersembunyi dari terangnya polusi malam.
Dering ponselnya berbunyi, Vikrama melihat nama Rhea terpampang dalam layar depan ponsel miliknya. Sedikit merasa heran, ada keperluan apa Rhea menelponnya di malam-malam hari begini? dia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja kecil, yang berada di dekat ranjang tempat tidurnya, dan dengan cepat menggeser ikon hijau pada layar.
"Ada apa Rhea?" Tanya Vikrama seraya menempelkan ponsel tersebut di samping telinganya.
"Aku hanya sedang bosan ...." Hening, tetapi Vikrama masih tetap menunggu Rhea kembali berbicara. ".... Tidak, kupikir aku memiliki sesuatu yang ingin dikatakan padamu."
Vikrama duduk di atas ranjang tempat tidurnya. "Padaku? Apa itu?"