Kegiatan sekolah berakhir, semua murid berhamburan keluar dari ruang kelasnya masing-masing. Sebagian dari mereka ada yang melanjutkan kegiatan ekstrakulikuler, ada yang pergi bermain ke suatu tempat bersama dengan teman-temannya, dan ada juga yang langsung pulang ke rumahnya masing-masing.
Kini, Vikrama tidak langsung pulang atau pergi bersama dengan Tarani atau Rhea. Dia duduk seorang diri, menatap langit kekuningan di sebuah kafe yang jarak lokasinya tak terlalu jauh dengan sekolah.
Dia ingin menyendiri, kejadian kemarin pada saat di rumahnya, dia masih memikirkan pilihan seperti apa yang harus dia ambil. Dia mempertimbangkan semua pilihan yang ada agar tidak menyesal di kemudian hari. Apakah dia harus pergi ke tempat selanjutnya dengan membuka paksa pintu kokoh di depannya atau menikmati secangkir kopi di sampingnya seraya menunggu pintu kokoh itu terbuka dengan sendirinya?
Itu semua terlalu rumit. Tidak, dialah yang membuatnya menjadi rumit. Penyangkalan yang sering dilakukan olehnya membuat pilihan yang seharusnya dapat dengan mudah ia pilih, menjadi semakin sulit dan bercabang pada beberapa kemungkinan yang tidak seharusnya.
"Terima kasih, silahkan datang kembali!"
Suara itu begitu familiar di telinganya. Vikrama mengalihkan perhatiannya pada asal suara tersebut, dan benar saja dia melihat sosok Deni yang sedang berjalan menuju meja kosong yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjung. Deni mengambil piring dan gelas kotor, lalu membersihkan meja menggunakan kain lap, dan dia menghembuskan napas kasar begitu melihat Vikrama yang duduk tak jauh dari tempatnya berada.
Deni menatap Vikrama dengan tajam, seakan memiliki suatu rasa permusuhan yang sangat kuat. Tetapi Vikrama hanya menatap Deni dengan sebuah senyuman, tak menyangka jika orang seperti Deni bisa bekerja di tempat ini, melayani pelanggan dengan ramah, terkecuali kepadanya. Tidak seperti kebanyakan orang yang terkadang melayani pelanggan mengikuti egonya.
Sebuah notifikasi pesan masuk membuat ponsel yang disimpan olehnya di atas meja bergetar. Vikrama mengambil ponselnya dan melihat sebuah pesan dikirim oleh Akmal, menanyakan keberadaan dia saat ini. Vikrama mengirimkan lokasi dia terkini dan Akmal langsung membacanya, seolah-olah Akmal berdiam di ruang pesan Vikrama, dan tidak ada balasan kembali dari Akmal.
Vikrama sedikit merasa heran, tapi dia tidak terlalu memikirkannya. Mungkin Kakaknya itu ingin meminta kepada dirinya untuk membujuk Ibu agar dapat kembali pulang ke rumah, karena akan sangat lucu jika memang akan berakhir seperti itu.
"Semoga saja memang seperti itu," katanya.
Tak lama, sebuah notifikasi pesan kembali muncul dari dalam layar ponselnya. Vikrama melihat Akmal kembali mengiriminya sebuah pesan, bahwa dia kini sudah berada di depan pintu masuk kafe. Vikrama yang merasa heran dengan seberapa cepat Akmal datang menemuinya, dengan segera dia beranjak bangun, sebelum pergi menemui Akmal dia menghabiskan segelas kopinya terlebih dahulu.
Akmal langsung menurunkan kaca jendela mobilnya ketika Vikrama telah berada di dekatnya, "Naiklah! kita perlu bicara!" Perintahnya dan Vikrama pun menurutinya.
"Ada apa?" Tanya Vikrama begitu berada di dalam mobil.
Akmal mengemudikan mobilnya, melihat ke kanan-kiri dan belakang melalui spion yang berada di kedua belah sisi mobil, "Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu di rumahku," ungkapnya.
"Kamu memiliki rumah?" Tanya Vikrama terkejut, Akmal baru saja pergi dari rumah dan kini dia telah memiliki sebuah rumah. "Aku kira pinjaman online tidak akan memberimu pinjaman sampai-sampai kamu bisa membeli rumah."
"Kamu kira aku meminjam uang?" Tanya Akmal dan Vikrama hanya menganggukkan kepalanya, seolah itulah yang sebenarnya terjadi. "Sial, rumah itu warisan dari neneknya Lira, dan aku tidak cukup gila meminjam uang untuk membeli rumah, dengan penghasilanku saat ini."
"Iya itu jelas."
Setibanya di depan rumah, Akmal menurunkan Vikrama di depan gang kecil, karena dia harus pergi ke tempat dia biasa memarkirkan mobilnya. Sebenarnya dia bisa saja parkir di sisi jalan, karena jalanan ini lumayan lebar dan bisa dimasuki 2 mobil lebih sedikit, tapi hanya orang bodoh yang memarkirkan mobilnya sembarangan dan membuat arus jalan tersendat. Jika kalian bisa membeli mobil tapi masih memarkirkan mobil kalian sembarangan, itu sudah menjadi bukti bahwa isi otak kalian tidak sebanyak uang yang kalian hasilkan.
Cukup sialan karena mereka bangga atas kebodohannya itu.
Tidak ingin berlama-lama menunggu Akmal memarkirkan kendaraannya, Vikrama berjalan masuk ke dalam gang kecil tersebut, dan mencari-cari rumah berwarna putih. Sebelumnya, ketika dia sedang turun dari mobil, Akmal mengatakan jika rumah yang ia tinggali memiliki dinding berwarna putih. Dan kini Vikrama ingin memukul Akmal karena setiap rumah yang dia lihat, kebanyakan dindingnya berwarna putih. Dengan segala keterpaksaan dia harus menunggu Akmal selesai memarkirkan kendaraannya.