Tidak ada alasan untuk hidup, tetapi tidak ada pula alasan untuk tidak hidup. Mereka yang mengaku menemukan makna hidup pasti berbohong atau tertipu. Apapun itu, mereka gagal mengakui kenyataan pahit yang dihadapi umat manusia.
- Donald A.Crosby
Pagi hari, matahari belum menunjukan sinarnya, Vikrama terbangun oleh suara alarm dari dalam ponselnya. Dia bangkit dari tidurnya dan duduk sebentar untuk mematikan alarmnya yang sangat berisik, lalu terdiam sesaat, tersenyum senang karena dapat kembali bangun untuk melihat wanita yang selalu dipikirkannya. Karena hari ini sekolah libur, Ibu dan Feri sepertinya sudah pergi bekerja, di hari ini, sepertinya mereka mendadak mendapatkan panggilan pekerjaan.
Kondisi Ibu yang masih terguncang karena keputusan yang dibuat oleh Akmal sebelumnya, dia merasa ragu jika Ibu akan bekerja secara maksimal. Tapi mungkin Ibu tidak akan mempermasalahkannya lagi dan kembali beraktivitas seperti biasa.
Tidak ada hal spesial yang ia lakukan di hari libur selain pergi mandi, sarapan, membersihkan kamar, serta mencuci pakaian kotornya. Sebenarnya Ibu sudah mengatakan padanya untuk mencuci pakaian tersebut ke tempat laundry, tetapi Vikrama tidak menginginkannya karena dia masih memiliki banyak waktu luang untuk mencucinya sendiri.
Ketika sedang mencuci pakaiannya, terdengar suara reporter berita dari televisi yang sebelumnya telah dinyalakan oleh Vikrama. Reporter mengatakan bahwa ada seorang pemuda yang melakukan bunuh diri di atas sebuah jembatan, dengan cara mengiris urat nadi di tangannya kemudian melompat bebas ke dalam danau.
"Berdasarkan penelusuran kami, diketahui bahwa pemuda tersebut diduga sedang mengalami depresi ...."
Vikrama yang mendengar itu hanya tersenyum, bertanya-tanya apakah dia juga memiliki keberanian yang hebat seperti pemuda itu? Bunuh diri adalah keputusan yang berat, dan Vikrama mengira bahwa masalah yang dimiliki oleh pemuda itu tidaklah main-main.
"Ada banyak anak muda menderita, mereka mengetahui hal itu, tetapi mereka mengabaikannya," kata Vikrama seraya memeras pakaiannya dengan sekuat tenaga. "Dunia ini kejam bukan karena persaingan yang ketat, tapi karena manusia mulai saling mengabaikan satu sama lain."
Selesai memeras semua pakaian kotornya, Vikrama membawa pakaian-pakaian yang ia masukkan ke dalam ember, menuju ke luar rumah untuk dijemur, sangat pas sekali karena di pagi hari ini matahari bersinar cukup terang. Namun, begitu Vikrama keluar dari dalam rumahnya, dia sangat terkejut karena melihat Tarani sedang terduduk lemas di teras rumahnya. Dia meletakkan embernya di atas lantai, lalu berjalan mendekati Tarani, "Apa yang sedang kamu lakukan di sini?" tanyanya.
Tarani yang tampak lemas, mengangkat kepalanya, "Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja aku berada di tempat ini," katanya dengan suara yang begitu lirih.
"Apa kamu berada di sini dari semalam?" Tanya Vikrama yang merasa curiga dengan kantung mata pada wajah Tarani. Dia melihat sedang membawa ember cucian. "Tunggu sebentar ... masuklah ke dalam dulu! Aku akan menjemur pakaian ini terlebih dahulu."
Namun, sampai Vikrama selesai menjemur pakaiannya, Tarani tak bergeming sedikitpun dari tempatnya. Dia hanya diam, melamun, menatap apa yang ada di depannya dengan pandangan kosong. Entah apa yang sedang dipikirkannya, entah apa hal yang membuatnya menjadi seperti ini, Vikrama yang tidak mengetahui hal itu kembali mengajak Tarani untuk masuk ke dalam rumahnya, dan begitu Vikrama melangkah masuk ke dalam rumah, Tarani membuntuti langkahnya dari belakang dengan menundukkan kepalanya.
"Duduklah!" Perintah Vikrama dan Tarani pun menurutinya.
Vikrama menyimpan kembali ember yang dibawanya ke kamar mandi. Dia juga membuatkan dua gelas kopi; satu untuknya dan satu untuk Tarani di dapur. Vikrama tak begitu tahu dengan maksud kedatangan Tarani ke rumahnya. Tapi satu hal yang pasti, itu pasti tentang segala sesuatu yang mengikatnya selama ini. Rasa sakit yang sulit 'tuk disembuhkan seperti yang diceritakan padanya hari itu. Heran, mengapa ada banyak sekali orang yang hampir memiliki rasa sakit yang sama dengan dirinya.
"Santai, anggap saja seperti rumahmu sendiri," kata Vikrama agar Tarani tidak terlalu kaku.
"Aku tak pernah merasa santai ketika berada di dalam rumahku sendiri," ucap Tarani tiba-tiba. Vikrama yang hendak meminum gelas kopinya pun dibuat berhenti karenanya. "Hingga aku berpikir, apakah aku benar-benar memiliki rumah? tempat di mana kita dapat menjadi diri kita sendiri, penuh dengan kehangatan akan kasih sayang. Tapi entah kenapa aku tidak merasa begitu sedikitpun?"
"Aku muak dengan segala omong kosong yang diucapkan oleh mereka semua."
Vikrama meletakan kembali gelasnya di atas meja, memperhatikan dan mendengarkan keluh kesah Tarani pada kehidupan dengan baik.
"Mereka mengatakan sudah tidak mencintai apalah, itulah, inilah ... omong kosong." Tarani menggeleng pelan, meneteskan air matanya yang bagai mutiara di dalam lautan. "Aku terlahir dengan darah daging mereka. Tapi kenapa mereka selalu seolah-olah menganggapku tidak pernah ada? Apa sekalipun mereka tidak pernah menganggapku sebagai seorang anak? Sepertinya dunia ini sudah cukup gila. Anak-anak terlahir hanya agar dapat merasakan penderitaan, dan lebih lucunya lagi itu terus berlanjut selama beberapa generasi. Sebenarnya apa yang mereka permasalahkan, cinta? Bukan, aku pikir itu karena masa depan yang telah mereka pikirkan dalam otak mereka yang kecil, tidak berjalan sesuai dengan harapan awal mereka."
Tarani memalingkan wajahnya, menghentikan perkataannya sesaat karena merasa sakit ketika mengatakan itu semua. Tapi sedikit demi sedikit, beban dipundaknya terasa lebih ringan dan ia kembali melanjutkan.
"Aku merasa seperti terlahir oleh nafsu, bukan cinta. Alasan dari keberadaanku, dan alasan mengapa aku dilahirkan seperti sudah ditentukan. Aku selalu melakukan apapun yang mereka mau, aku tidak melakukan apapun yang mereka larang. Baik dan buruk pun aku ambil dari setiap kata yang mereka ucapkan padaku. Mereka mengatakan gelap adalah sebuah sumber kejahatan, dan aku percaya hingga akhirnya aku tahu bahwa dalam gelap sekalipun masih ada setitik cahaya."
Vikrama ingin mengatakan saran yang mungkin menurutnya dapat membantu Tarani untuk menghadapi masalahnya. Namun, ia urungkan, karena saat ini yang dibutuhkan Tarani bukanlah saran yang bijak atau sejenisnya, tetapi ialah pendengar yang baik. Seperti Tuhan yang selalu mendengarkan keluh kesah manusia.