Sunflower

Siji Getih
Chapter #37

36. Khayalan

Orang-orang yang menilai wajahnya saja mungkin mengira bahwa Tarani dengan sengaja terlihat datar untuk menutupi rasa malunya. Tapi, sejujurnya dia tak peduli dengan rumor-rumor buruk yang menyebar tentang dirinya. Dia sudah tak peduli dengan kehidupan yang memang selalu membuatnya menderita.

Tertekan, hampa, menderita.

Dia ingin memberitahu semua orang jika dia ingin mati, disaat dia sendiri tidak bisa mati. Dia ingin hidup, disaat dia sendiri tidak bisa hidup. Irasional sekali bukan?

Padahal dia hanya ingin seseorang memujinya hanya karena dia telah hidup.

Tarani melipat kain jaket yang menutupi tangannya. Seulas senyum palsu terpancar dalam wajahnya begitu melihat banyak goresan luka yang masih nampak baru pada pergelangan tangannya.

Saat bersedih, ia menyayat pergelangan tangannya, saat kecemasan melanda, ia menyayat pergelangan tangannya, dan setiap kali ia merasa baik atau buruk, ia akan menyayat pergelangan tangannya. Dia merasa heran karena tidak merasakan sakit ketika menggores pergelangan tangannya, meski ada banyak sekali darah bercucuran, tapi itu tetap tidak membuatnya mengerang kesakitan.

Sendirian.

Tarani membuka jendela kamarnya, duduk di atas balkon, dan membiarkan kakinya menjuntai keluar. Sebatang rokok yang di selipkan di sela-sela jari tangan kanannya, dengan sebuah botol alkohol yang ia pegang pada tangan lainnya, adalah satu-satunya yang menemani dirinya di saat-saat penderitaannya. Entah sudah se-rusak apa organ-organ di dalam tubuhnya, hingga seringkali muntahan darah keluar dari dalam mulutnya.

Setiap saat, ketika ia sedang duduk di atas sini, ia seringkali berpikir untuk melompat lalu mati. Tapi ternyata itu tak semudah yang ia pikirkan. Memangnya jika kau melompat, apakah itu akan membuatmu mati? Bahkan terkadang hanya untuk mati saja terasa begitu sulit.

Tarani memikirkan kembali masa lalunya. Tarani tersenyum, "Aku membenci kedua orang tuaku. Tetapi disaat yang bersamaan aku berharap hari itu akan tiba, hari di mana mereka akan mencintaiku." Menghembuskan napas berat dengan tetap mempertahankan senyumannya, "Padahal itu hanya cerita bodoh."

Menutup matanya, membayangkan bahwa tidak akan ada lagi orang yang menginginkan keberadaannya, "Dunia ini seperti permainan keberuntungan," kembali membuka matanya dan berkaca-kaca, "Beruntung atau tidaknya seseorang telah ditentukan sebelum manusia itu terlahir," tersenyum, begitu berat untuk menghembuskan nafas, "Aku tahu ini terdengar egois, karena sebenarnya aku ingin orang-orang tahu, jika aku tidak ingin menjadi anak yang jahat."

Tarani melemparkan tubuhnya ke atas kasur dan membiarkan rambut hitam panjangnya menjuntai, menyentuh dinginnya lantai.

"Aku ingin menghilang dari kehidupan ini ... entah se-keji apapun perbuatan mereka, se-sampah apapun sifat mereka, seberapa banyak mereka membuatku kecewa, pada akhirnya aku tidak benar-benar bisa membenci mereka."

Tetap mempertahankan posisinya, Tarani mengambil sebuah botol kaca yang tergeletak di atas lantai kamarnya.

Lihat selengkapnya