Leon mendudukkan dirinya lalu menatap teman temannya satu persatu. Matanya menatap tajam lelaki dengan gaya rambut short neat di sampingnya itu yang mengiriminya pesan untuk datang ke basecam mereka. Letaknya tak jauh dari kampus mereka, berjarak sekitar 3 kilometer.
Namanya Raka Chrisnendra, yang biasa dipanggil Raka. Lelaki itu merupakan salah satu sahabatnya yang bisa diandalkan. Tingginya 179 cm dengan muka hitam manis khas orang Jawa.
"Kenapa?"
"Lo nggak mau ikut balapan?"
"Nggak." Jawab Leon cepat.
"Kenapa?" Tanya lelaki di ujung ruangan yang sedari tadi hanya diam menyimak.
Kalau lelaki itu bernama Aditya Fernan, biasa dipanggil Adit yang merupakan sahabat Leon sejak mereka SMP. Sifatnya tidak pernah bisa ditebak. Kadang cerewet kadang pendiam. Kadang dia bisa begitu bijak dan kadang bisa begitu julid juga.
"Karena Naya kan?" Tebak Adit yang sayangnya benar.
"Apa yang Naya bilang ada benernya Dit, gue juga harus mikirin Kala."
Lelaki itu menghembuskan nafas pelan, sedangkan Adit tersenyum tipis mendengarnya.
"Lo dan Naya... kapan jadiannya? Emang seasik itu HTS-an?"
***
Di atas motor, keduanya terdiam tak saling bicara. Naya terbatuk pelan lalu teringat sesuatu dan memajukan sedikit tubuhnya untuk berbicara dengan Leon.
"LE!"
"APA?!"
Leon menjawab setengah berteriak sebab angin kencang juga suara motor yang beradu di jalanan membuat keduanya harus pandai pandai menyesuaikan suara agar dapat didengar.
"KAMU TADI BENERAN NGGAK BERANTEM KAN?!"
"HAH? BERUANG?!"
"BUKAN BERANG BERANG LE! AKU TANYA KAMU TADI BENERAN NGGAK BERANTEM KAN?!"
"BIR?! KAMU JANGAN MACEM MACEM YA NAY! NGAPAIN COBA MAU BIR?!"
"APANYA YANG BIRU?!"
"GAK TAU NAY NANTI AJA UDAH NGOMONGNYA! BERISIK BANGET INI!"
"APA? KEDONDONG?!"
Naya berdecak sebal.
"UDAHLAH KITA NGOMONGNYA NANTI AJA NAY! UDAH KAYAK HAJI BOLOT GUE HAH HOH HAH HOH!"
"APA?! HOLA HOHA?!
Ah, sudahlah.
***
"Tadi kamu ngomong apa Le?" Tanya Naya akhirnya setelah mereka berdua berada di sebuah cafe yang tak begitu besar di pinggir jalan.
"Nggak jadi. Kamu sendiri tadi tanya apaan?"
Naya memajukan badannya sedikit dan menatap Leon serius.
"Kamu nggak berantem kan tadi?"
"Enggak kok."
"Bener?"
"Iya."
Naya mengangguk anggukan kepalanya faham lalu menatap sekeliling. Tatapannya berhenti saat melihat seorang lelaki dengan wanita cantik di sampingnya. Mereka berdua tertawa riang, tampak bahagia. Dunia serasa milik keduanya, dan yang lain hanyalah debu tak berharga yang tak mereka hiraukan.
Wanita itu menghembuskan nafas pelan lalu membuang muka. Tangannya bergerak meraih ponsel pintar miliknya dan mengabaikan pemandangan itu. Leon mengeryitkan dahinya sekilas lalu menoleh dan faham. Dia segera memosisikan kursinya di depan Naya supaya dapat menutupi wanita itu dari pemandangan tak layak dilihat bagi seorang berstatus jomblo seperti keduanya.
"Kenapa Nay?"
"Hah, oh enggak papa Le." Tapi raut mukanya berkata lain. Dia tampak sedih.
"Naya!"
Keduanya menoleh.
"Beneran Naya ternyata. Eh lo seminggu ini kemana? Lo nggak lagi ngehindarin gue kan?"
Dia Rega, senior Naya di kampus sekaligus sahabatnya sejak mereka SMA.
Naya tersenyum canggung. "Nggak lah Kak, ngapain coba."
"Terus kemana lo seminggu ini?"
"Aku lagi agak sibuk aja sih Kak habis sakit."
"Hah? Lo sakit? Kapan?"
Naya meringis pelan. "Iya sih seminggu kemarin agak nggak enak badan, makanya tugasnya numpuk dan jarang ke gedung Kak Rega lagi."
Sedangkan Leon dan wanita di samping Rega yang sedari tadi hanya diam kini mulai memberi kode kode keberadaan mereka seperti berdehem dan membunyikan sendok garpu dengan suara nyaring. Mereka juga ingin dianggap, tidak dikacangi seperti ini. Definisi dari ada tak dianggap yang terlalu menyakitkan untuk diterima.
"Eh iya lupa. Kenalin ini Cerra, pacar gue."
Naya sudah tau itu.
"Ra, ini Naya sahabat gue sejak SMA. Dia udah gue anggap adik gue sendiri sih."