Di kamarnya yang bernuansa hitam dan biru, Leon membuka matanya saat sinar matahari mulai memasuki sela sela jendelanya. Dia masih ingin tidur sebab semalam baru tidur tengah malam. Kaki yang semula tertekuk saat tidur karena memeluk guling dia luruskan lalu mulai mendudukkan dirinya.
Kakinya mulai menuruni kasur lalu melangkah dan membuka pintu kamarnya. Rambutnya yang acak acakan itu bukan mencerminkan Leon sama sekali. Tangannya yang putih terangkat lalu mengetuk pelan pintu kamar Kala.
"Dek?"
Tidak ada jawaban membuat Leon membuka pintu kamar Kala perlahan. Matanya menyipit akibat senyum yang mengiasi bibirnya. Melihat Kala berada di balkon kamarnya seraya menatap langit membuatnya seketika ingat dengan kebiasaan Kala yang selalu bangun pagi untuk menyaksikan pemandangan sunrise.
"La?"
"Iya Kak?"
"Kenapa kamu suka banget lihat sunrise?"
"Kalau ditanya kenapa suka sunrise, jawabannya simpel. Ya karena sunrise yang bikin aku merasa tenang. Seolah olah Tuhan masih kasih kesempatan buat hidup dan mensyukuri nikmat-Nya. Jadi nggak ada alasan buat nggak bersyukur atas semua yang sudah Tuhan kasih ke aku." Ucapnya tanpa menoleh ke arah Leon.
Lelaki itu berdiri di samping Kala dan meletakkan tangannya di pagar pembatas balkon kamar Kala. Ditatapnya muka adiknya itu yang tampak menenangkan jika dipandang. Raut muka lelaki itu berubah sedih seketika.
"Termasuk mensyukuri penyakit menyebalkan itu La?"
Kala tertawa kecil. "Ini bukan penyakit menyebalkan Kak. Tuhan selalu punya rencana, yang bahkan nggak kita tau. Kala percaya kok, semua yang Kala alami saat ini akan berakhir bahagia. Tuhan nggak pernah bercanda soal takdir hamba-Nya."
Muka Leon tampak semakin sedih.
"Kamu... yakin semuanya akan berakhir bahagia?"
"Kalaupun suatu saat nanti akhir yang Kala dapat nggak bahagia, Kala akan tetap bersyukur kok. Semuanya pasti ada pelajaran yang bisa diambil."
"Kenapa kamu bisa seyakin itu?"
"Entahlah. Sebenarnya Kala cuma berusaha buat tegar Kak. Dunia nggak boleh tau seberapa rapuh seorang Kala."
Leon menoleh lalu merengkuh tubuh Kala dan memeluknya.
"Kakak tau kamu capek La, tapi kakak mohon jangan nyerah ya. Kalau kamu nyerah, nanti kamu bakalan gabut, gabut pake banget karena nggak ngapa ngapain."
Kala tertawa mendengarnya. Leon adalah orang yang paling peduli padanya saat kedua orang tuanya harus sibuk bekerja dan jarang di rumah. Jika boleh jujur, Kala sudah lelah. Karena penyakitnya ini dia harus membatasi semua kegiatannya karena tubuhnya yang tidak bisa diajak kerjasama.
Leon mengelus rambut Kala sayang, tanpa tau jika di pelukannya Kala tengah menangis.
Tuhan, tolong buat semua ini lebih baik. Aku tau Kala pasti sudah benar benar lelah.
***
"Udah selesai?" tanya Raka pada Leon yang kini sedang membereskan buku bukunya.
"Udah. Hari ini lo ikut futsal nggak?"
"Nggak tau. Ini tugas praktikum gue belum kelar juga." Raka melihat lihat setumpuk kertas di mejanya lalu menyenderkan punggungnya frustasi. Otaknya tidak akan kuat jika harus mengerjakan semua ini sekarang.
"Terserah lo deh. Gue cabut."
Leon memasukkan buku dan ketasnya ke dalam tas lalu berdiri. Langkahnya terhenti saat Raka mencengkram tangannya.
"Tungguin gue! Iya ini gue ikut futsal."
"Lah, katanya tugas praktikum lo belum kelar?" Tanya Leon seraya menaikkan sebelah alisnya.
"Mboh wes jarno. Muales aku ngerjakno e."
Translate: nggak tau udah biarin. Males banget aku ngerjainnya.
"Gini amat hidup gue. Mana nggak ada kisah percintaan kayak di drakor pula. Pusing tau nggak. Punya kepala pusing nggak punya kepala juga serem. Serba salah emang hidup di dunia."
"Berisik su! Pecahin aja noh pala lo. Beres kan pecah juga masalah, pusing, beserta tetek bengeknya."
Raka menatap Adit yang sama sekali tak memiliki beban saat mengatakan kalimatnya barusan. Tatapan permusuhan sudah dia layangkan sejak kemarin malam. Cuma Leon yang peduli padanya dan nggak pernah julid, walau kadang ngeselin karena jika dirinya tertimpa musibah bukannya dibantuin malah diketawain.
"Apa lihat lihat? Iya tau gue cakep. Lagian nih ya, apa lo bilang tadi? Nggak ada kisah percintaan kayak di drakor? Mohon maaf untuk saudara Raka yang terhormat, mohon di cek baik baik HPnya. Itu HP nyala, semua aplikasi pun hampir punya. Sayangnya nggak ada yang ngechat. Perasaan lo juga nggak terbalaskan, apalagi rindu lo yang nggak pernah tersampaikan."
"Ayolah Bro, cewe nggak cuma satu di dunia ini. Kalo lo ditikung tapi waktu lo tabrak mereka masih hidup, inget kata tukang parkir!"
Raka terdiam lalu menatap Adit lurus. "Harganya lima ribu?"
"Oas-"
"Dit! Lo kalau mau ngomong kasar jangan di sini!"