SUNRISE

Kala Hujan
Chapter #4

4 | sunrise #2

Malam harinya, Leon benar benar tak bisa tidur sebab terus memikirkan Naya. Berkali kali dia memejamkan matanya, tapi otak dan matanya benar benar tidak bisa diajak bekerja sama. Tak tau harus berbuat apa sebab Naya juga tidak bisa dihubungi, Leon memutuskan untuk memasuki kamar Kala dan melihat adiknya itu.

Tangan Leon perlahan menyentuh knop pintu kamar Kala lalu membukanya. Melihat Kala yang tertidur pulas membuat Leon tersenyum tipis lalu duduk di samping adiknya itu. Tangannya terangkat lalu mengelus rambut Kala sayang.

"Yang kuat ya La. Gue... minta maaf."

Kala menggeliat kecil dan membuat Leon membungkam mulutnya. Tak lama setelahnya, Kala kembali terlelap yang segera ditinggalkan oleh Leon. Lelaki itu tak ingin mengganggu adiknya dan memutuskan untuk kembali ke kamarnya.

Dia gelisah karena Naya tak kunjung mengangkat telepon ataupun membalas chatnya. Dilihatnya jam dinding yang kini sudah menunjukkan pukul 3 dini hari. Akal sehatnya sepertinya hilang sebab kekurangan tidur karena memikirkan keadaan Naya.

Sepetinya dia sudah gila. Dan yeah, semua orang tau cinta itu membuat gila, bahkan buta dengan keadaan sekitar. Kadang Leon bingung dengan Raka, yang bisa sebegitu sayangnya dengan orang lain tanpa disayangi balik. Begitupula dengan Naya, tetapi rasa sayang yang dia terima tak lebih seperti layaknya seorang kakak ke adik, lebih tepatnya hanya debagai sahabat.

"Angkat Nay angkat!"

Lagi lagi Leon mondar mandir tak jelas sebab panggilan teleponnya tak Naya angkat.

"Andai rumah kita deket, lo read doang pesan gue hancurin sudah jendela rumah lo Nay! Pintu, mobil, motor, sama rumah lo aja sekalian!"

Leon mengacak acak rambutnya. "Enggak kok Nay bercanda, angkat lah. Kalau buat Raka sama Adit mah beneran."

Lagi, Leon mondar mandir di kamarnya tanpa tujuan. Duduk di kursi lalu mencoret coret bukunya dan kembali mondar mandir tak jelas lagi.

Hingga pukul 4.30 pagi, Leon akhirnya memutuskan untuk keluar rumah dengan motor ninja hitam kesayangannya. Tak lupa jaket hitam juga helm full face miliknya dia kenakan lalu segera mengendarai motor miliknya. Angin pagi itu begitu menusuk tulang membuat Leon merapatkan jaketnya.

Tak memiliki tujuan, Leon memutari kompleks perumahannya 3 kali lalu menuju ke alun alun kota. Sunrise yang selalu Kala tunggu sudah mulai terlihat, dan pastinya gadis itu pun sudah bangun saat ini. Kembali ke rutinitas paginya yang selalu mengamati sunrise hingga pukul 6 pagi lalu baru memersiapkan sekolahnya, bersih diri lalu sarapan.

Leon menghembuskan nafas pelan lalu menatap sisa sisa karnaval kemarin yang sedikit berantakan. mungkin mereka pikir karena karnaval ini akan diadakan lagi besok, maka mereka tak perlu membersihkannya. Pemikiran macam apa itu? Lalu karena tak memerhatikan jalanan, Leon hampir saja menabrak perempuan yang melintas tiba tiba di depannya. Lelaki itu segera turun lalu membantu perempuan yang terduduk di tanah sebab terkejut.

"Naya?"

Mereka saling pandang.

"L-leon? Ka-kamu ng-ngapain di s-sini?"

"Pertanyaan aku juga sama Nay, kamu ngapain pagi pagi kayak gini nggak tidur?"

"Aku... nggak ngantuk kok." Naya menundukkan kepalanya.

"Aku anter pulang ya?"

"Eh, enggak usah."

Leon mengangguk, dia tak bisa memaksa pilihan Naya. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri sejenak lalu melingkarkan tangan Naya di pundaknya. Melihat itu, Naya sedikit terkejut dan tak banyak bicara saat Leon memapahnya menuju kursi terdekat. Setelah keduanya duduk, barulah Leon bertanya.

"Kamu... nggak papa kan Nay?"

Naya hanya diam seraya mengamati pemandangan sunrise di depan mereka. Ternyata alun alun kota mereka adalah tempat yang tepat untuk melihat pemandangan sunrise tanpa adanya pemandangan mengganggu seperti atap rumah. Beda dengan balkon kamar milik Kala yang sedikit tertutup oleh atap rumah milik tetangga sebrang.

Lelaki itu memandang muka Naya yang tampak sedih. "Kalau kamu nggak mau cerita nggak papa kok. Tapi satu hal yang harus selalu kamu ingat, everything will be fine. Dan aku akan selalu ada, buat kamu, buat dengerin cerita kamu, atau buat sekedar jadi pelampiasan emosi kamu, Naya."

Naya menoleh, sedangkan kini Leon menatap pemandangan sunrise di depannya dengan senyum yang merekah.

"Kalau kata Kala, sunrise itu sebuah pertanda."

"Pertanda apa Le? tanya Naya yang ikut mengamati pemandangan sunrise di depan mereka.

"Pertanda bahwa kita itu bisa memulai awal yang baru, yang lebih baik. Memang sih, nggak ada yang bisa memaksa kalau sudah urusan hati. Karena terkadang memang cinta itu datang tanpa aba aba, yang terkadang kita sendiri tidak tau apa resiko saat mencintai seseorang."

"Tapi kalau semua orang berfikir realistis sebelum jatuh cinta, mungkin hanya ada beberapa yang merasakan perasaan itu. Sedangkan yang lainnya akan menahan diri untuk menghindari resiko terburuknya. Ya tapi sekali lagi, kita memang tidak pernah bisa memilih untuk jatuh cinta dengan siapa." lanjutnya.

"Singkatnya, jatuh cinta itu menyenangkan, tapi tidak dengan jatuhnya."

Naya tertawa kecil mendengar penuturan Leon barusan dan membuat lelaki itu menoleh.

"Kenapa?" Tanyanya bingung.

"Kamu lucu Le. Apalaagi waktu ngomong banyak banget kayak tadi. Kayak bukan Leon."

Leon tersenyum tipis mendengarnya.

"Udah baikan?"

Naya menatap sekitar lalu mengangguk tipis.

"Mau cerita?"

Lihat selengkapnya