"Le Le Le!" Panggil Raka panik seraya terduduk perlahan. Melihat itu, Adit dan Leon segera menghampirinya yang tampak kesakitan.
"Kenapa?"
"Kaki gue..."
"Ada dua? Iya tau nggak usah bercanda." Sela Adit cepat.
"Bukan su! Kaki gue kesemutan."
"Elah kesemutan doang juga!"
Tangan Adit sengaja terangkat lalu menggeplak keras kaki Raka tanpa belas kasihan sedikitpun. Raka menjerit keras setelahnya yang langsung dibekap oleh Leon.
"Stupid Adit stupid Adit monyet kambing jerapah banteng anj-ARGH!"
Raka kembali menjerit saat kakinya kembali di pukul pelan oleh Adit yang kini tersenyum bahagia.
"Gue nggak suka ya Dit kalau gue lagi kesemutan dan lo giniin! Sumpah ya kaki gue tuh rasanya kayak kesetrum terus mati rasa gitu!"
"Nggak usah sok melas gitu, lemah! Buruan berdiri! Muka lo makin jelek tau nggak."
Sambil berusaha berdiri yang dibantu oleh Adit dan Leon, Raka mengumpat pelan lalu menatap tajam Adit di samping kirinya.
"Gue itu glowing ya!"
"Iya glowing, 5 menit setelah mandi. Setelahnya jadi siluman."
Tak menghiraukan Raka lagi, Adit menoleh ke arah Leon untuk bertanya tentang laporan miliknya.
"Udah selesai sih, nggak selama yang Raka bilang."
Raka memutar bola matanya malas. "Enak ya jadi cakep, apa apa langsung direspon."
"Halah iri aja sih lo sama Leon? Gue tanya deh niat lo awalnya udah bener belum? Lo juga udah sungguh sungguh nggak ngerjainnya?"
"Niat gue? Dari awal niat gue cuma satu. Yaitu bisa kaya raya bergelimang harta tanpa kerja keras."
"Gini ya maaf sebelumnya, gue tau kok kalau stupid itu gratis, ya tapi nggak usah diborong semua lah Rak!"
***
Leon diam seraya menatap lurus ke luar jendela. Di cafe biasa tempak ketiganya nongkrong, Leon tampak bingung dan terus saja diam. Adit dan Raka saling pandang, tak biasanya Leon seperti ini.
"Mau diam, rasanya udah nggak tahan. Mau diungkapin juga... mungkin semuanya akan berantakan. Seribet itu memang punya perasaan sama temen sendiri."
Kalimat Adit barusan membuat Leon mengalihkan pandangannya dan menatap Adit menuntut penjelasan. Adit yang ditatap seperti itu hanya mengedikkan bahu tak peduli lalu kembali fokus pada game yang sedang dimainkannya. Raka menoleh ke arah Adit sekilas lalu menatap Leon yang tampak tak seperti biasanya. Mungkin inilah yang dinamakan the power of galau.
"Ungkapin aja Yon."
Leon ingin membuka mulutnya tetapi Raka menyela dan membuatnya tak jadi berbicara.
"Iya gue tau gimana kondisi Naya saat ini. Makanya itu dia butuh orang buat nemenin dia, buat bantu dia bangkit dan move on. Tunjukin ke dia siapa sih yang selama ini bener bener tulus dan sayang sama dia, yang selalu peduli sama dia."
"Itu namanya Leon kayak pelampiasan Naya aja! Ibarat, Naya pakai Leon buat lupain Rega. Walau emang Naya nggak akan mungkin ngelakuin itu sih. Lo itu ya kalau kasih penjelasan yang beneran dikit kek! Sesat lo!"
"Jadi?" Sela Leon cepat sebelum keduanya kembali berdebat.
"Udah ungkapin aja. Kalaupun nantinya lo ditolak, setidaknya lo udah ungkapin perasaan lo ke Naya. Dan mungkin setelahnya lo bisa lebih baik. Karena asal lo tau, terkadang penolakan dapat membuat seseorang lebih jadi ikhlas. Semuanya kembali lagi ke lo sih, gue tau kok ini pilihan yang sulit."
Leon diam. Walau mulutnya Adit terkadang terlewat julid, tapi saran yang dia selipkan di sela sela hujatannya itu sangat membantu. Entahlah, teman seperti Adit terkadang memang sangat membantu. Tapi untuk memiliki teman sepertinya dibutuhkan jiwa yang sabar tingkat tinggi untuk mendengarkan hujatannya setiap hari.
"Bohong lo Dit! Itu mah nggak seberapa Yon. Lo tau, nahan ketawa di saat semuanya lagi serius adalah hal tersulit yang pernah ada. Jadi masalah asmara lo ini belum ada apa apanya lah."
"Gini nih yang gue demen, stupidnya natural banget. Murni pemberian Tuhan. Lo mau ngetawain apa Rak waktu semuanya lagi serius?"