"Kakak dari mana? Kok jam segini baru pulang?!" semprot Kala yang sudah tidak sabar untuk mendengar cerita Leon sejak semalam.
"Egh, nanti ya La ceritanya. Kakak harus siap siap ini."
Kala menatap Leon sedih. "Kakak mau kemana lagi? Kemarin kan katanya ada kelas, tapi malam."
Leon merasa bersalah mendengarnya. "Iya deh, tapi tunggu kamu selesai sekolah dulu. Baru nanti kamu ke kamar Kakak terus Kakak ceritain semuanya."
Kala hanya mengangguk lalu kembali melanjutkan sekolahnya. Kini Leon memghembuskan nafas lega sebab jujur, dia masih belum siap untuk menceritakannya lagi. Kakinya mulai melangkah menuju kamar bernuansa hitam dan biru itu lalu segera merebahkan badannya. Entah kenapa, hatinya terasa sakit. Lelaki itu merogoh saku celana lalu mengambil ponselnya. Pesan yang dikirimkannya kemarin masih belum juga Naya balas.
Apa seharusnya dia tak menyatakan perasaannya saja? Jika sudah seperti ini, memendam perasaan rasanya mungkin lebih baik. Apa tidak ada harapan untuknya? Leon menenggelamkan mukanya di bantal lalu memejamkan matanya. Semua ini membuatnya pusing. Dan yeah, musuh terbesarnya bukan dari faktor luar seperti omongan orang lain, melainkan dari dirinya sendiri. Dia selalu saja dibuat down dengan pikiran pikiran negatif dan overthinkning yang sebenarnya tidak perlu.
Setengah jam kemudian, Kala yang bisa selesai lebih cepat sebab sudah mengerjakan semua soal yang gurunya berikan itu berjalan menghampiri kamar Leon. Sesampainya di depan kamar kakaknya, Kala mengetuk pintu kamar Leon tapi tak ada jawaban maupun suara sedikitpun. Gadis itu mengeryitkan dahinya bingung lalu kembali mengetuk pelan. Tak ada jawaban untuk yang kedua kalinya membuat Kala memutuskan untuk memutar knop pintu kamar Leon dan memasukinya.
Senyum tipis terbit di bibir Kala saat dirinya melihat Leon terlelap seperti itu. Matanya menyapu ke seluruh sudut kamar milik Leon lalu merapikan baju baju milik kakaknya itu yang tak berada di tempatnya. Setelah meletakkan baju Leon di lemari, Kala merapikan sedikit meja di samping kasur seraya keluar untuk mengambilkan kakaknya itu minum. 5 menit kemudian, Kala kembali dengan nampan berisi roti bakar dan segelas jus jeruk.
Gadis itu meletakkan nampan yang dibawanya di meja lalu duduk di kasur milik Leon. Tangan kecilnya itu menusuk nusuk pipi Leon pelan dan membuatnya menggeliat seraya membuka matanya. Melihat Kala sudah berada di kamarnya, Leon segera duduk dan refleks melihat jam di pergelangan tangannya.
"Udah selesai La sekolahnya?"
"Udah, tadi soal latihannya nggak sulit kok. Jadi selesainya cepat."
"Oh." Leon mengangguk anggukan kepalanya mengerti.
"Kakak lapar enggak? Kala bawain roti sama jus." ucapnya seraya tersenyum tipis.
Melihat kepedulian Kala kepadanya yang sampai mau membersihkan kamarnya membuat Leon mengangguk lalu memakan roti yang sudah Kala bawakan untuknya.
"Gimana kemarin Kak?"
Leon menatap Kala yang tampak antusias lalu mulai menceritakan semua yang dialaminya bersama Naya kemarin. Mendengar itu, Kala ikut sedih lalu merebahkan kepalanya di paha Leon. Tatapan matanya meredup sebab dia pikir Naya akan langsung menerima Leon sebagai pacarnya. Semua ini benar benar di luar dugaan Kala. Seperti Adit dan Raka saat mendengar cerita Leon, Kala pun sama tak percayanya jika yang bersama Leon malam itu adalah Naya.
"Kayak bukan Kak Naya banget nggak sih Kak?" tanyanya seraya menatap muka Leon dari bawah yang hanya dibalas anggukan pelan darinya.
"Kakak udah chat Kak Naya?"
Leon mengangguk.
"Dibalas?" tanyanya lagi.
Kini Leon menggeleng.
"Itu artinya sekarang Kak Leon harus main sama Kala. Kita jalan jalan yuk Kak? Kayak katanya Kala kemarin, Kala beliin Kakak es krim deh." ajak Kala dengan mata berbinar.
Menimbang nimbang permintaan Kala sejenak, akhirnya Leon memutuskan untuk mengangguk seraya mencubit pipi Kala pelan. Gadis itu meringis dan membuatnya khawatir. Reflesk Leon segera menangkup muka Kala dan bertanya padanya.
"Kamu kenapa La? Masa dicubit pelan doang sakit sih?"
"Enggak Kak, ini perut Kala sakit, soalnya Kala lagi dapet."