SUNRISE

Kala Hujan
Chapter #17

17 | malam

Malam itu tampak cerah. Awan hitam menggumpal menutupi cahaya bulan dan bintang yang semakin meredup. Sepertinya akan turun hujan malam ini. Sama sepertinya yang kini sedang menatap indahnya langit malam. Entah kenapa, setiap malam perasaannya seakan semakin hancur. Setiap malam yang dilaluinya membuat hati wanita itu terasa semakin sakit. Malam yang seharusnya dihabiskan untuk istirahat akhir akhir ini selalu dia gunakan untuk menangis.

Tidak, dia tidak lelah. Mata itu seakan tak ingin pemiliknya kembali mengeluarkan tawa dan senyum manisnya. Angin malam berhembus pelan memainkan anak rambutnya yang tergerai. Untuk kesekian kalinya, mata itu kembali berair mengingat semua kejadian hari itu. Apa tidak layakkah baginya untuk bahagia?

"Kenapa mencintai seseorang harus semenyakitkan ini?" Gumamnya pelan seraya kembali meneteskan air mata.

Luna menatap jam di pergelangan tangannya. Sebebtar lagi pesawatnya akan berangkat. Setelah semuanya siap dan dia sudah duduk di kursinya, Luna kembali menangis pelan sebab ucapan Leon kepadanya tempo hari. Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya Luna memutuskan untuk kembali ke rumah orang tuanya saja untuk menata kembali hatinya yang hancur berkeping keping untuk kesekian kalinya.

Tangannya bergerak untuk menyumpal telinga dengan earphone dan mendengarkan sembarang lagu. Dia ingat lagu itu lalu merekam suaranya sendiri seraya sesekali terisak.

"Jika memang terpaksa, tak perlu kau memaksa. Berbagi detikku dan detikmu sungguh. Terakhir kumeminta, apa bolehkah aku pinjam pelukanmu, sebentar saja... kukembalikan seusai, menangis."

Suaranya yang lembut itu sangat sesuai dengan lagu yang dinyanyikannya. Tak kuat menyanyikan lagu pinjam peluk-Ageseisa, Luna kembali terisak seraya menutup muka dengan kedua tangannya. Penolakan Leon saat itu sangat menusuk dan meninggalkan bekas di hatinya. Tuhan, kenapa hal yang begitu menyakitkan baginya terjadi lagi? Tidak pantaskah dia untuk dicintai balik oleh orang yang dicintainya?

Sesuai dengan apa yang Leon ucapkan hari itu, kini Luna benar benar pergi. Posisinya sulit. Sedang dalam posisi masih mencintainya, tapi tak bisa memiliki dan dia bukan miliknya. Mencintai seseorang rasanya mungkin mudah, tapi untuk berharap supaya dicintai kembali kenapa terasa begitu susah? Bahkan tampak mustahil baginya. Dia sudah sering menghindar, dan harusnya wanita itu sadar, bukan malah semakin mengejarnya.

"Seakan akan semesta menciptakan lelaki sesempurna itu hanya untuk kukagumi, bukan memiliki. Seharusnya dari awal aku sadar kalau, semesta cuma ngizinin aku buat mengaguminya dan bukan memiliki."

"Mau pergi sulit, mau bertahan lagi lebih sakit." Luna menghembuskan nafas pelan. "Selamat berbahagia bersama bahagiamu, wahai bahagiaku."

***

"Ternyata, sesakit ini rasanya merindukan seseorang tanpa bisa melakukan apapun. Lagi, kenapa?!"

Luna menatap ke luar jendela kamarnya lalu kembali meneteskan air mata. Sebenarnya semua ini salah Luna, seperti apa yang Leon katakan waktu itu. Harusnya dia sadar diri dan tidak begitu berharap. Karena pada dasarnya, tidak ada yang menyakitinya seperti itu selain dirinya sendiri. Dia hanya terluka oleh harapan yang dibuatnya, tanpa peduli dengan takdir semesta yang berkata jika mereka tidak akan dapat bersatu.

Rasanya takdir begitu kejam. Kenapa pada akhirnya dia harus tersakiti? Kenapa? Tidakkah semesta lelah melihatnya terus mengeluarkan air mata seperti ini?

"Aku cuma berharap, perasaan ini tidak akan menetap lama. Sungguh, ini sangat menyakitkan."

"Untuk kisah yang tidak pernah dimulai, maaf kita harus selesai. Aku sudah lelah dan terima kasih untuk luka ini, lagi."

Malam ini tidak ada yang istimewa. Bahkan semakin malam rasanya dia semakin sadar jika berharap itu sangat menyakitkan. Mencintai tapi tak dicintai balik. Bertahan adalah hal bodoh, tetapi untuk melupakannya adalah hal yang sangat sulit. Sekarang dirinya sadar. Wanita itu lelah, dan dia akan menjauh. Sungguh, Luna merasa hancur sehancur hancurnya saat mengingat semua yang sudah dilaluinya. Bukan hanya tentang kisah asmaranya, melainkan juga kisah keluarganya.

Malam semakin larut, tapi mata wanita itu seakan tak ingin terpejam. Raganya pun seakan tak ingin beranjak dari tempat duduknya sedari tadi. Jam dinding di kamarnya sudah menunjukkan pukul 11 malam. Seorang wanita paruh baya yang melihat lampu kamar putrinya masih menyala itu memutuskan untuk menengok keadaannya. Melihat putrinya yang seperti itu lagi seakan menyayat hatinya yang sudah terluka.

"Luna..." panggilnya pelan.

Wanita itu menoleh, tangisnya kembali pecah saat mendapati ibunya yang kini sedang berjalan ke arahnya. Di dalam dekapan sang ibu, Luna kembali menangis yang mengundang butir butir kristal milik Lily luruh. Kenapa putrinya harus kembali terluka? Tidak bisakah semesta membuatnya tertawa seperti dahulu kembali?

Lihat selengkapnya