SUNRISE

Kala Hujan
Chapter #19

19 | Luna dan Naya

"Lo nggak mau balik?" Tanya Luna di kamar setelah keduanya selesai sarapan keesokan harinya. Mendengar itu, Naya menggeleng pelan.

"Kenapa? Lo besok masuk pagi kan?"

"Walau aku udah nggak pantas buat disebut sahabat sama kamu, tapi aku nggak tega ninggalin kamu di sini Lun. Bukannya kamu besok juga ada kelas pagi ya?"

"Gue rela di D.O dari kampus. Lagian juga sejak awal gue nggak ada niatan buat kuliah."

"Nilai kamu bagus Lun, kan sayang."

"Gue nggak peduli."

Hening.

"Aku mau keluar Lun, kamu mau titip apa?" Tanya Naya yang kini mulai bersiap siap untuk pergi.

"Kemana?"

"Minimarket, sekalian jalan jalan sebentar ke taman kota. Mau ikut?"

"Gak, gue udah ke sana kemarin."

Naya menghembuskan nafas pelan.

"Yaudah tunggu sini, kamu mau titip apa?"

"Terserah."

Tak ada lagi percakapan yang terjadi membuat Naya beranjak pergi ke taman kota. Sepuluh menit menaiki taxi, akhirnya Naya sampai di sana. Pemandangan itu masih sama, tak banyak yang berubah. Melihat anak kecil yang berlalu lalang membuat Naya tertawa kecil sebab dirinya tiba tiba saja teringat oleh Kala. Berjalan sekitar 5 menit ke arah selatan, Naya sampai di minimarket terdekat lalu membeli jajanan kesukaan Luna dahulu.

Ponselnya berbunyi. Nama Leon yang tertera sebagai penelpon membuat Naya menghembuskan nafas berat lalu menolak panggilannya. Lanjut memilih, wanita itu meraih gantungan beruang berwarna putih yang tampak menggemaskan dan berniat membelikan itu untuk Kala. Gadis itu sudah dianggapnya sebagai adik sendiri.

Setelah puas memutari minimarket itu, Naya membayar belanjaanya lalu kembali ke taman dimana taxi yang dipesannya terparkir anggun di sana. Mengatakan tujuan selanjutnya, lalu menyenderkan punggungnya di kursi. Bukan, bukan rumah Luna tujuan selanjutnya. Dia masih harus ke suatu tempat, dimana aura kesedihan selalu terpancar dari sana.

Kakinya melangkah keluar saat taxi sudah berhenti di tempat tujuannya. Gudukan gudukan tanah tampak berjejer rapi di sana. Naya berjalan ke makam paling pojok lalu berjongkok. Tangan putihnya itu terangkat lalu mengelus batu nisan yang bertuliskan nama lengkap Justin. Matanya memanas saat mengingat kebersamaan mereka.

"Aku dateng Tin, kamu masih inget aku kan?"

Naya tertawa getir.

"Maaf karena aku belum bisa nepatin permintaan kamu buat terus bersama dan jagain Luna. Kita asing banget sekarang. Aku nggak tau lagi harus gimana tapi, aku bener bener nggak suka kalau hubungan kita kayak gini."

"Sejak kamu meninggal, Luna berubah Tin. Aku emang nggak bisa sepenuhnya nyalahin dia karena memang setiap orang bakal berubah. Tapi semuanya jadi lebih rumit saat Luna mencintai orang yang menyukaiku."

Menjeda kalimatnya barusan, Naya terisak pelan.

"Aku nggak bisa lama lama di sini Tin, Luna sendirian di rumah. Aku pamit."

Seraya mengusap air matanya, Naya berjalan menuju taxi lalu melakukan perjalanan ke tujuan berikutnya. Kali ini, dia akan pergi ke makam Lyn-kakaknya Luna-untuk meminta maaf. Beberapa menit berdiam diri, Naya tersenyum tipis saat menatap pemakaman elit yang sudah lama tak dikunjunginya itu. Terakhir dia kemari adalah sehari setelah kematian Lyn. Itu pun hanya sebentar sebab Luna sempat tak sadarkan diri.

Di depan makam Lyn, Naya terisak pelan.

"Kak maaf. Maaf karena Naya belum bisa jagain Luna. Semua ini rumit Kak, Naya nggak bisa hadapin semuanya sendiri. Aku cuma mau kita kayak dulu lagi, dan kayaknya itu nggak akan bisa terjadi. Tapi jujur, Naya kangen sama Luna yang dulu."

"Naya bener bener minta maaf Kak."

***

"Dari mana lo, kenapa lama banget ha?!" Tanya Luna seraya menaikkan sebelah alisnya.

Mendengar itu, Naya duduk di kursi lalu meletakkan belanjaannya. Tak kunjung mendapat jawaban membuat Luna sedikit emosi lalu melempar bantal leher ke arah Naya. Bukannya menjawab pertanyaan Luna tadi, Naya malah tertawa kecil.

"Kepo!"

"Lo habis nangis?" Tanya Luna yang membuat Naya menghentikan kegiatannya seketika.

Lihat selengkapnya