Keesokan harinya, Leon yang tak mendapati keberadaan Kala di meja makan segera berdiri lalu mencari adiknya itu. Tumben tumbenan dia belum ada di meja makan padahal jam sudah menunjukkan pukul 06.45 pagi. Jika sedang melihat sunrise, bukannya sunrise itu sudah berakhir dan berganti dengan terik matahari yang mulai menyengat walau semilir angin terasa menyejukkan.
Di kamarnya, ternyata Kala sedang menyuntikkan suntikan faktor pembekuan dan plasma dengan muka yang tampak sedih. Melihat Kala yang meringis pelan lalu menghembuskan nafas pelan membuatnya segera menghampiri adiknya itu. Dia tau, semua ini tidak muda bagi Kala. Itu sebabnya Leon memilih kampus dekat rumahnya padahal bisa saja dia mendapat beasiswa kuliah ke luar negeri.
Setelah duduk di samping Kala, lelaki itu memeluk adiknya cepat yang tiba tiba terisak. Sungguh, Leon tak pernah kuat jika harus menyaksikan dan mendengarkan Kala menangis. Tangannya tergerak untuk mengelus rambut sebahu milik Kala lalu mengecup puncak kepalanya sekali.
"Kala capek Kak, sampai kapan Kala harus kayak gini?"
Leon bingung harus menjawab apa. Karena kemungkinan wanita terkena hemofilia itu kecil, sangat kecil. Ketika kromosom x pada perempuan hilang, maka perempuan masih memiliki satu gen kromosom x untuk proses pembekuan darah. Berbeda dengan lelaki, ketika kromosom x pada gennya menghilang, hal ini menyebabkan faktor pembekuan darah juga ikut menghilang. Yang menyebabkan lelaki lebih rentan terkena hemofilia. Entahlah, hal inilah yang terus Leon pikirkan kapanpun itu.
Dia ingat ucapan guru biologinya dahulu. Perempuan yang lahir dengan penyakit bawaan hemofilia tidak akan bisa bertahan hidup, yang rata rata sudah tiada sebelum lahir. Adapun bayi perempuan pengidap hemofilia yang lahir akan meninggal beberapa hari kemudian. Dan setelah membaca di artikel yang ada ternyata perempuan juga dapat terkena hemofilia, yang terjadi karena adanya mutasi gen pada saat penderita beranjak dewasa. Mungkin itulah yang Kala alami selama ini.
"Kakak tau kamu kuat Dek, semuanya akan baik baik saja, percaya deh sama Kakak."
Di dekapan Leon, Kala terisak pelan. Selain mengidap hemofilia, sebenarnya dahulu Kala juga mengidap trypanophobia. Yaitu phobia terhadap jarum suntik yang kini sudah seperti vitamin yang digunakannya seminggu dua kali. Hari itu setelah Kala kecil mendapat transfusi darah dan penanganan intensif oleh dokter, dokter berkata jika Kala hatus mendapatkan suntikan faktor pembekuan darah dan plasma. Tapi semua itu semakin rumit saat mereka semua tau jika Kala mengidap trypanophobia.
Kondisi ini akan membuat pengidapnya mengalami tekanan darah tinggi dan denyut nadi yang meningkat, dan bahkan dapat membuat pengidapnya pingsan. Sama seperti yang Kala alami dahulu. Hingga mulai hari itu lagi lagi Kala harus menjalani hari yang berat dengan menjalani terapi kognitif. Yang perlahan lahan melatih pikiran pengidapnya untuk tidak takut lagi terhadap jarum suntik.
Nantinya terapis akan melatih orang pengidap fobia disuntik dengan menunjukkan gambar suntikan kepada mereka. Lalu mereka akan diminta menyentuh gambar tersebut. Lama-kelamaan, pengidap tryponophobia akan dilatih untuk tidak takut dengan jarum suntik bentuk nyata. Meski begitu, terapi ini akan membutuhkan waktu yang lama sampai pengidapnya benar-benar bisa tenang saat melihat suntikan. Dan Kala melakukan terapi itu selama 5 tahun hingga dia dapat mandiri seperti ini.
Jika boleh meminta, sebenarnya Leon ingin supaya dia saja yang mengidap penyakit sialan yang sudah membuat adiknya mengalami hari hari berat selama 16 tahun ini.
"Kita jalan jalan yuk? Biar kamu nggak jenuh di rumah terus, mau?"
Kala menggeleng pelan. "Kala tau Kakak ada kelas bentar lagi. Kala nggak papa kok, Kala mau istirahat aja. Lagian juga kelas Kakak hari ini bukannya sampai malam?"
Leon tersenyum tipis mendengar itu. Kenapa Kala bisa sepeduli ini kepadanya?
***
Sesaat setelah Leon sampai di kampusnya, dia mendapati sosok yang mirip dengan Raka. Tak berlama lama lagi, lelaki itu segera memanggil nama sahabatnya lalu berlari ke arah jam satu. Setelah sampai, lelaki berkemeja biru itu mengeryitkan dahinya sebab tak mendapati adanya Raka. Apa tadi hanya halusinasinya? Kemana pula lelaki itu menghilang akhir akhir ini? Sikapnya aneh sekali, sungguh. Sebuah tangan menepuk bahunya tiba tiba dan membuat Leon terkejut. Jika saja dia tak melihat bahwa Adit yang melakukan semua ini, mungkin sebuah tinju sudah mendarat mulus di mukanya.
"Kenapa lo?"
"Gue ngelihat Raka Dit."
Adit mengeryitkan dahinya bingung lalu menatap ke sekitar. Matanya menyipit saat menyadari keberadaan lelaki gesrek yang mereka kenal. Dia segera menyikut lengan Leon perlahan dan memastikan, apa benar yang dilihatnya itu adalah Raka. Setelah memastikan bersama, Leon mengangguk dan segera menghampirinya. Dia sangat terkejut saat biasanya Raka yang selalu tertawa itu kini berubah 180°. Bisa bisanya Raka menepis kasar lengan Leon lalu menatap tajam dirinya.
Perlakuan kasar Raka terhadapnya membuat kedua lelaki itu bingung.
"Kenapa lo?" Tanya Adit mewakili Leon.
"Bukan urusan lo!"
Setelah mengatakan tiga kata itu, Raka beranjak pergi yang kemudian segera Leon tahan dengan mencekal pergelangan tangannya. Lagi lagi Raka menepis kasar tangan Leon dari tangannya dan tak lupa dengan tatapan setajam laser yang kini seakan menjadi ciri khasnya, bukan tawa receh seperti dulu.
"Lo kenapa sih?"
"Buka mata lo dan coba buat lebih peka lagi, Leonardo Revaldi!"