"Luna, gue pamit."
Naya menghembuskan nafas pelan seraya menatap Luna yang lagi lagi masih mengacuhkannya. Setelah membereskan barang barangnya, wanita itu menatap Luna yang sama sekali tak meliriknya sekalipun. Kakinya mulai melangkah keluar kamar lalu terhenti tepat di depan pintu saat Luna membuka mulutnya.
"Thanks udah mau jengukin gue."
Naya membalikkan badannya lalu tersenyum tipis.
"Walau sebenernya nggak perlu." Sambungnya ketus.
"Makasih."
Luna mengeryitkan dahinya bingung. "Buat?"
"Karena kamu masih anggap aku ada Lun, itu udah cukup buat aku. Jaga diri baik baik ya kamu di sini, aku usahain sebulan sekali bakalan ke sini lagi buat jenguk kamu Lun."
"Nggak usah!"
Naya kembali tersenyum lalu meninggalkan Luna sendirian di kamarnya. Yang tanpa wanita itu ketahui, senyum tipis telah terbit di bibir wanita yang baru saja mengalami patah hati itu. Setelah berpamitan dengan Lily dan asisten rumah tangga Luna, Naya berangkat menuju stasiun kereta api yang berada tak jauh dari rumah Luna. Bukan pesawat? Tidak, wanita itu sebisa mungkin menghindari untuk menaiki pesawat sebab insiden hari itu.
Kedua orang tuanya meninggal akibat kecelakaan pesawat sesaat setelah dia benar benar sembuh dari komanya. Hari itu kedua orang tua Naya bilang jika mereka akan pindah ke negeri tetangga, akan tetapi saat perjalanan pesawat mereka mengalami masalah hingga akhirnya berujung pada kecelakaan. Naya baik baik saja dalam dekapan keduanya saat itu, hanya saja mentalnya kembali terluka saat melihat orang yang disayang berlumuran darah dan meninggal demi melindunginya.
7 jam berada di kereta, Naya dapat menghembuskan nafas lega saat kereta itu akhirnya sampai di stasiun tujuannya. Tidak ada siapapun yang menjemputnya, termasuk Leon bahkan. Dia bahkan sengaja tidak ingin memberitahunya sebab ada hal serius yang harus mereka bicarakan nanti. Setelah taxi yang dipesannya datang, wanita itu segera menuju rumah sebab dia ada kelas pukul 18.00 nanti. Memiliki satu jam yang tersisa membuat Naya segera membersihkan dirinya dan merapikan kamar lalu segera menuju ke kampus.
Entah kebetulan atau bagaimana, tapi semesta ternyata mempertemukan keduanya di halaman kampus. Mereka saling pandang untuk beberapa detik hingga akhirnya Naya memutuskan kontak mata dan kembali melangkah. Tangan Leon yang mencekal tangannya pelan memhuat Naya mau tak mau kembali menghentikan langkah dan menoleh ke arah Leon.
"Kamu udah pulang Nay?" Tanya Leon seraya memeluknya tiba tiba.
Wanita itu hanya diam tak membalas pelukannya yang membuat Leon heran. Aura Naya terasa berbeda, dan apa yang sudah terjadi pada mereka beberapa hari terakhir? Tak mendapat jawaban atau balasan apapun membuat Leon melepas pelukan mereka seraya menatap Naya yang hanya diam sedari tadi. Merasa jika Naya hanya diam dan mengacuhkannya sedari tadi, Leon melepaskan pelukannya lalu menatap wanita di depannya itu yang kini sedang menampilkan muka datar.
"I miss you Naya."
"Yes, me too my boy." ucapnya dengan muka datar yang tampak lelah. Matanya terasa panas tiba tiba lalu menatap mata Leon lekat. Menyadari Naya yang tampak kelelahan membuat Leon menggenggam tangan Naya erat dan menunggu wanita itu berbicara lagi.
"Aku ada kelas Le, udah telat."
"Kamu baik baik aja?"
Naya mengangguk.
"Tapi-"
"Kita bicara nanti Le, aku udah telat. Jemput aku jam setengah 9, kita bicara nanti."
"Kamu beneran nggak papa kan yang?"
Naya kembali mengangguk. "Kamu baru selesai kelas kan? Udah pulang aja duluan, nggak usah nungguin aku."
Naya berjinjit sedikit lalu mengecup pelan pipi Leon dan melenggang pergi. Berbeda dengan Leon yang kini membulatkan matanya tak percaya dengan jantung yang berpacu dua kali lipat. Dia bingung harus bersikap seperti apa. Kecupan itu begitu kelu, sama seperti hati Naya yang dibuat berantakan lagi oleh orang terdekatnya. Kenapa semua ini menjadi rumit?
Bingung dengan semua ini, Leon mengambil ponselnya lalu mulai menghubungi Adit. Di saat saat seperti ini biasanya umpatan dan kata kata julidnya sangat membantu. Tapi sayangnya, lelaki itu tak menjawab panggilan telepon Leon dan membuatnya menghembuskan nafas berat. Tak ingin ambil pusing sebab tugas tugasnya pun makin melunjak, Leon melangkahkan kakinya menuju parkiran untuk pulang ke rumah. Dengan bertemu Kala mungkin pikirannya akan lebih tenang.
Di perjalanan pulang, lagi lagi dia merasa seperti ada yang mengikutinya. Hanya saja saat dia menoleh, tidak ada siapapun yang mengikutinya. Bahkan orang orang di sana pun tampak enggan untuk meliriknya. Helaan nafas berat kembali terdengar dari lelaki berkaos hitam dengan kemeja merah itu. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?
***
"Apa? Kak Naya udah pulang?!" Pekik Kala senang.
"Iya nanti malam kita bicara." Jawab Leon lesu.