Leon menghembuskan nafas berat saat tak mendapati keberadaan Naya di rumahnya. Karena harus berangkat ke kampus pagi ini juga, lelaki itu memutuskan untuk pergi ke kampus dan akan kembali lagi nanti. Walau hatinya menolak, tapi logikanya pun menyangkal untuk bolos kelas. Dengan berat hati, Leon meninggalkan rumah Naya dan memacu kotornya menuju kampus.
Berbeda dengan Luna yang kini sedang memukul stir mobilnya frustasi sebab jalanan yang dilaluinya tiba tiba memadat. Seharusnya sekitar setengah jam lagi dia sudah sampai di rumah sakit tempat Naya berada. Tak ingin suasana hatinya semakin memburuk, wanita itu menghembuskan nafas pelan lalu menyumpal telinganya dengan earphone. Lagu Gone-Rose mengalun lembut di telinganya. Entahlah, tanpa alasan yang jelas dia menyukai lagu itu.
Sendirian di mobil seperti itu membuatnya tak bisa untuk tidak memikirkan semua hal yang terjadi padanya akhir akhir ini. Kemarin masalah Leon, sekarang Naya. Baru sehari wanita itu meninggalkan rumahnya, kini dirinya sudah terkapar di rumah sakit dan membuat Luna khawatir. Perasaan suka pada Leon perlahan menghilang dan tergantikan oleh rasa benci. Tidak, perasaan itu hadir bukan karena Leon yang menolaknya, tetapi karena Leon yang melukai Naya sahabatnya.
Dia benar benar tidak terima jika benar Leon lah yang menyebabkan ini semua. Jalan Retak Alami, Perempatan hancur. Seingat Luna tempat itu tak jauh dari rumah Leon. Tangannya mengepal dan kembali melayangkan tinju ke arah stir mobilnya yang tak bersalah. Sungguh, tangan wanita itu sebenarnya gatal ingin menghubungi Leon untuk menyanyakan semua ini. Tapi jika dipikir pikir lagi, untuk apa melakukannya? Toh mungkin lelaki itu hanya menganggapnya sebagai perusak hubungannya dengan Naya.
Satu jam mengendarai mobil, kini Luna sedang memarkirkan mobilnya di halaman parkir rumah sakit. Setelah dirasa semua beres, kakinya dengan cepat melangkah untuk mencari kamar inap Naya. Dia sudah bertanya pada Rega tadi tentang letak kamar inap Naya. Hanya saja lelaki itu mungkin sedang sibuk di kampus atau bagaimana hingga harus meninggalkan Naya sendirian. Jam dinding rumah sakit sudah menunjukkan pukul 11.30, hampir tengah hari.
Kakinya berhenti melangkah di depan kamar inap Naya. Perasaan ragu itu kembali hadir. Haruskah dia melakukan ini? Ada sedikit penyesalan yang hadir saat Luna menatap gagang pintu di depannya. Kenapa pula dia harus susah susah kemari? Naya sudah besar sekarang, dan harusnya dia bisa menjaga dirinya sendiri. Kehadirannya pun mungkin tidak ada artinya sama sekali. Apa dia pulang saja sekarang? Tapi... nanggung. Badannya pun masih lelah setelah berkendara selama 5 setengah jam.
Terdengar bunyi benda jatuh yang membuat Luna membulatkan matanya lalu memasuki kamar inap Naya dengan cepat. Naya yang baru sadar dan ingin mengambil minum itu pun merasakan tubuhnya kaku sebab dia tidak menyangka sama sekali jika Luna akan menjenguknya. Mereka saling pandang hingga Luna memalingkan mukanya cepat. Kehadiran Luna di sini membuat senyum di bibir pucat Naya itu mengembang lebar.
"Ngapain sih lo?!" Tanya Luna ketus seraya membantu Naya mengambil botol air mineral yang terjatuh.
"Kamu... jauh jauh ke sini buat jenguk aku Lun?"
"Nggak, gue kebetulan ada acara di sini. Terus Kak Rega bilang lo pingsan, masuk rumah sakit."
Naya tersenyum lebar seraya menatap Luna tulus. Ditatap seperti itu oleh Naya membuat Luna berdehem pelan lalu menatap tajam sahabatnya itu.
"Kapan lo sadar?"
"Barusan. Aku haus Lun, mau ambil minum. Eh bukannya keambil minumnya malah jatuh."
"Pabo!"
"Makasih."
Naya kembali tersenyum saat Luna menyodorkan air minum yang sudah dibuka tutupnya lalu segera meminum air itu. Menatap Naya yang tampaknya sedang senang itu membuat Luna sedikit tidak enak jika harus membahas tentang Leon saat ini juga. Matanya menatap sekeliling lalu mengeryitkan dahi bingung sebab tak mendapati Leon di sini. Apa mungkin keduanya sedang bertengkar? Atau jangan jangan Leon masih belum tau kondisi Naya saat ini?
"Nay."
"Iya?"
"Leon mana?" Tanyanya dengan nada dan raut wajah yang datar.
Melihat muka datar Luna membuat Naya tampak kebingungan untuk menjawab pertanyannya. Harus jawab apa dia?
"Eng, eh itu kok anu eng apa namanya anu si Leon sibuk di kampus."
"Lo lagi bohongin siapa sih? Nggak bakalan mempan ke gue Nay."
Wanita itu menghembuskan nafas berat. "Aku juga nggak tau."
"Lah gimana bisa nggak tau?!" Tanya Luna lagi tersulut emosi. Bagaimana bisa ada lelaki seperti itu? Setelah menyakiti hatinya, kini dia juga mau menyakiti hati sahabatnya? Lelaki macam apa dia itu?!