"Kamu bukannya ada kegiatan kampus ya hari ini?" Tanya Naya memastikan.
"Engh, gimana ya..."
"Udah nggak papa Le beneran. Cepetan siap siap geh, nanti kalau udah selesai kegiatannya baru kamu ke sini lagi. Awas aja kamu kalau bolos!" Ancam Naya dengan muka galaknya yang tampak menggemaskan di mata Leon.
"Beneran?" Leon memastikan.
"Iya. Kala biar di sini aja sama aku."
"Nggak ngerepotin?"
Naya tertawa kecil. "Enggak. Lagian juga kayaknya Luna udah mulai nerima Kala. Dia baik baik aja kok di sini sama kita."
Leon tersenyum lebar lalu mendekati Naya di kasur. Di luar dugaannya, lelaki itu mengecup sayang rambut Naya. Wanita itu memejamkan matanya, merasakan perasaan damai yang menghampirinya tanpa menyadari kehadiran dua perempuan di depan pintu kamarnya yang terdiam bagai patung. Kala tersenyum geli seraya menutup mulutnya tak percaya. Sedangkan Luna di sampingnya tampak memutar bola mata malas dengan hati yang masih merasa sakit saat melihat kedua insan yang bahagia itu.
Kala melirik Luna, dia dapat merasakan apa yang wanita itu rasakan. Rasa sakit itu membuat Kala refleks berjinjit lalu menutup mata Luna dengan kedua tangannya. Walau tangannya memberontak sebab tak terima, tetapi sebelah bibirnya terangkat sebab mendapat perlakuan seperti ini dari Kala.
"Jangan dilihat, aku tau pasti sakit. Tapi kakak orang kuat, kakak pasti bisa dapet yang lebih baik lagi."
"Apaan sih La!"
"Kak Luna-eh, Kak Leon, hehe."
Kala tersenyum Lebar seraya menatap kedua pasangan itu dari pintu kamar. Tangannya yang menutupi mata Luna tadi susah ditariknya kembali seraya menoleh ke arah wanita di sampingnya.
"Ekhem."
Leon berdehem pelan, mencoba menstabilkan detak jantungnya yang tak stabil sebab malu karena Kala melihatnya tadi. Begitu pula dengan Naya yang kini menatap ke arah lain dengan muka yang memerah. Keduanya saling membuang pandangan ke arah berlawanan dengan Kala yang tertawa geli di ujung pintu.
"Kiw kiw." Kala mencoba menggoda keduanya.
"Ngapain aja tadi?"
Setelah sukses memasang raut wajah datar, Leon menatap Luna tajam lalu bertanya kepada Kala yang masih saja terkekeh tak henti henti.
"Enggak kok, kita cuma duduk di halaman taman rumah sakit."
"Ngobrolin apa?"
"Enggak ada, cuma bicara tentang sekolahnya Kala."
"Oh, siapa guru fisikanya Kala?" Tanya Leon dengan tatapan tajam ke arah Luna.
"Vita." Jawabnya asal yang ternyata benar. Mendengar itu, Kala menghembuskan nafas lega sebab setelah mengatakan kalimatnya tadi dia menahan nafas. Tau jika Leon pasti akan bertanya untuk membuktikan perkataannya tadi.
"Eh, Kak Leon mau pulang sekarang?"
"Enggak, Kakak harus ke kampus sekarang. Kamu di sini nggak papa kan? Kalau urusan Kakak udah selesai nanti Kakak jemput."
"Oh, nggak papa kok beneran!"
Leon menyipitkan matanya sebentar lalu tersenyum tipis saat melihat Kala yang tampaknya sedang bahagia sekali saat ini.
"Jangan nakal, Kakak pergi dulu."
Setelah mengacak acak rambut Kala gemas, lelaki itu menatap tajam Luna sekilas dan segera pergi meninggalkan ketiganya. Dirinya tau jika sudah terlambat, hanya saja dia tetap santai dan memilih berjalan daripada berlari menuju parkiran motor. Setelah mengenakan helm dan jaket, Leon mengeluarkan ponselnya untuk menghubungi Adit.
"Posisi-"
"Lo kemana aja nyet?! Sumpah ini dari tadi anak anak udah pada nungguin!"
"Sorry gue-"