Sunset in Weh Island

Bentang Pustaka
Chapter #3

Eins (1): Alles Gute Goettingen1

April, Frankfurt International Airport.

Saat itu musim semi baru dimulai, segarnya putik-putik pohon mengintip malu-malu di ujung-ujung cabang yang telah berhibernasi. Sejumput lumut-lumut muda menghijau di sela-sela bebatuan. Seperti mengucapkan Fruhling in Deucthland, Musim semi di Jerman.

Tak seperti gegap gempitanya semua orang yang menyambut musim semi, laki-laki jangkung itu justru masih terpaku dengan sebuah rencana besarnya, seakan melupakan pesona Fruhling dengan tradisi karnaval di pesta musim semi seperti di Koln dan Delsdorf, atau daya pikat Tulip Britzer Garten di Alt Mariendorf yang dikunjunginya musim semi sebelumnya. Sorot mata berwarna hijau zamrud itu sedingin winter, beku dan kaku.

Tak ada travel bag ataupun ransel besar, hanya sebuah tas berukuran sedang dan buku berwarna hitam. Terdapat selembar peta lipat di dalamnya, tampak sisa lipatannya masih menjuntai sedikit menyelinap keluar di antara apitan lembaran buku, mungkin ia sangat terburu-buru melipat bagian pinggirnya.

Langkah kaki laki-laki itu sesekali bergerak sangat cepat lalu melambat di antara kerumunan derap langkah berpuluh pasang kaki di lantai airport yang terbuat dari marmer berwarna abu-abu bercorak cokelat muda. Laki-laki itu setengah berlari kemudian berhenti. Suara berdecit yang berasal dari gesekan sol sepatu musim seminya sesekali terdengar ketika sepasang kaki itu memutuskan berhenti secara tiba-tiba, kemudian berbalik arah lagi.

Matanya jalang melihat ke sekitar. Semakin malam semakin ramai, gumamnya dalam hati sambil menengadahkan sedikit kepalanya ke atas, tepat di bawah lift menuju lantai dua. Dari jendela kaca yang memenuhi pinggiran ruang tunggu terlihat tulisan “Frankfurt International Airport” yang dibaca terbalik dari dalam ruangan airport.

Suara musik dari iPod-nya mengeluarkan beat yang kencang. Siapa pun yang berdiri di samping lelaki itu bisa mendengar suara dentuman yang keluar dari earphone yang menyumpal kedua lubang telinganya, sepertinya laki-laki ikal itu sudah menekan volumenya pada angka maksimal.

Kepalanya dipenuhi banyak rencana, seperti benang kusut masai yang bersimpul-simpul. Demikian ramai, seramai bandara yang tak pernah sepi pendatang, bahkan tak pernah sekali pun beristirahat.

Laki-laki itu melongok lagi ke atas bangunan, seolah-olah matanya sedang mencari sesuatu, tapi ia tidak menemukan apa pun selain sky line kereta api cepat yang melaju kencang dari terminal ke terminal dan bus antarterminal yang berjalan melambat di antara penumpang yang naik-turun di tiap-tiap terminal.

Ia tak langsung menuju ke bagian ticketing atau check-in dengan mesin online. Matanya justru berhenti pada sisi terbuka terrace visitor yang dipenuhi pengunjung. Seorang gadis kecil bersama ibunya sedang asyik menghitung pesawat yang parkir atau sesekali melambaikan tangannya sambil menatap kerlap-kerlip lampu di runway yang menyala seperti bintang-bintang yang tampak dari kejauhan.

Matanya kembali mengedar pandang ke beberapa orang pendatang yang sedang berfoto mengerumuni sebuah info permanen yang tertempel di sudut bandara. Sambil manggut-manggut mereka mulai menghitung seberapa luas bandara yang sedang mereka jejaki saat ini. “Wow, mencapai 15,6 km2,” decak seorang laki-laki dengan garis wajah oriental kepada teman di sampingnya yang menggunakan bahasa Inggris berdialek Singlish.

Tak sampai lima menit laki-laki ikal itu menerobos ke bagian check-in pesawat dan imigrasi. Mata zamrudnya terlihat keruh, untaian rambut ikalnya yang mengembang dibiarkannya tak beraturan ke segala penjuru tanpa berniat dirapikan.

“Ich fahre …. Alles gutte Goettingen—Aku pergi …. Selamat tinggal, Goettingen,” terdengar berulang-ulang gumaman yang tidak jelas dari bibirnya yang penuh.

Kembali dikeluarkannya peta lipat dari sisi buku, terlihat kertas itu mulai lecek, sorot matanya beralih pada secarik kertas bertuliskan alamat lengkap seorang laki-laki bernama Alan, begitu saja berulang-ulang meski bubuhan huruf di dalam kertas itu sudah kali kesekian ia baca dan nyaris hafal di luar kepala. “Oke, Axel … waktumu tak berhenti di sini,” bisik laki-laki itu menatap bayangan wajahnya di jendela kaca.

Axel menelan ludahnya lagi, terasa pahit dan masam, ia sama sekali belum menenggak secangkir kopi atau memakan sepotong wursh—sosis malam ini. Dadanya berdegup kencang, hatinya berdebar tak menentu.

Ada yang berkecamuk, antara marah, kesal, sakit, semua bercampur menjadi satu rasa, luka. Otaknya berpikir keras, terlalu sibuk merencanakan keberangkatan ini, tepatnya keberangkatan yang sangat tiba-tiba. Hanya terpikirkan kurang dari seminggu yang lalu.

***

Marcel baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah yang bergaya art-deco dengan ukuran atap yang lebar bersamaan dengan Axel yang datang bersama sepeda sportnya. Laki-laki berambut ikal cepak itu menarik pegangan rem sepedanya dengan cepat dan berhenti tepat di depan Marcel.

Wajah laki-laki berambut cokelat gelap itu berubah gugup, beberapa kali terlihat ia salah tingkah. Kali ini ia ketahuan, kebiasaannya yang selalu menyembunyikan tangan kiri di belakang punggungnya yang lebar. Tepat! Ada yang sedang ia sembunyikan.

Marcel mencoba tak mengacuhkan kedatangan Axel sepagi ini. Sahabatnya itu memang bisa datang kapan saja sesuka hatinya, mereka sudah berteman sejak Marcel pindah dari Leipziq, Jerman Timur, ke Goettingen bersama orangtuanya. Umur mereka saat itu mungkin baru sebelas tahun. Marcel selalu senang mengunjungi Axel, terutama saat kali pertama ia melihat anak laki-laki itu bermain basket di taman dekat kompleks rumah mereka. Tak satu pun bola yang luput dari keranjang basket, semuanya dengan poin yang menakjubkan. Marcel ingat bagaimana kali pertama mereka berkenalan.

“Mau coba?” tanyanya sambil melempar bola ke arah Marcel berdiri, laki-laki itu gelagapan. Tangannya kaku, tentu saja. Ia belum pernah mendribel bola seperti yang dilakukan Axel. Apalagi, jika kemudian dengan tiga langkah saja langsung shoot ke keranjang. Marcel berkali-kali kikuk, bola basket itu bukannya tertangkap, malah mengenai perutnya. Beberapa orang anak laki-laki di pinggir taman terdengar menertawakannya.

“Nggak apa-apa, mereka yang tertawa juga belum tentu jago basket,” ucapnya menenangkan Marcel yang masih gugup memegang bola di tangannya.

“Kalau kamu mau bisa ikut bergabung denganku setiap sore di sini,” tawarnya menjadi awal kedekatan mereka.

Kekagumannya bertambah saat Axel remaja tampil bersama grup hiphop dance di sekolah pada malam pesta kelulusan. Semua mata wanita tertuju kepadanya, laki-laki itu tahu bahwa Axel memang punya pesona yang tak terelakkan.

Sejak saat itu Marcel mengagumi Axel selayaknya seorang idola. Meskipun ia terkadang kurang nyaman dengan sikap Axel yang sedikit arogan dan kesenangannya bergonta-ganti pacar, membuat laki-laki beralis tebal itu merasa tak pernah laku di mata wanita. Bahkan, berkali-kali ia kalah taruhan saat Axel berhasil menggandeng anak baru di sekolah mereka. “Kamu tahu, dalam waktu tiga jam saja aku berhasil menyentuh bibirnya, mau bertaruh?” ucapnya tanpa sedikit pun ragu. Marcel khawatir jangan-jangan harus membelikan barang kesukaan Axel lagi karena kalah taruhan.

***

Winter sudah berlalu, tapi hawa sejuk masih tetap terasa pada awal musim semi ini. Sejak semalam Axel mencari Marcel, tapi laki-laki itu sepertinya tak ingin dihubungi, ponselnya off dan ia tak terlihat di rumah atau Rocky Bar tempat mereka biasa bertemu.

“Marcel, da bist du endlich zuruck—akhirnya kamu kembali!”

Axel memukul pundak Marcel pelan. Nada bicara laki-laki itu masih tetap datar meski matanya penuh selidik menatap Marcel yang kikuk.

“Warumm denn—kenapa memang? Kamu mencariku?” Marcel membuka pintu pagar kayu berwarna putih hendak bergerak masuk, tapi ia tahu benar saat ini punggungnya tak lepas dari tatapan tajam sahabatnya.

Lihat selengkapnya