"Hai Yuni, aku baru saja mendapat fakta menyedihkan dari buku yang aku baca"
"Juni, kamu selalu saja membahas buku. Apa kamu tidak bosan?"
"Kamu tidak boleh berkata seperti itu, Yun. Katanya kamu mau menjadi dokter. Sampai sekarang aku hitung, kamu baru membaca sepuluh buku. Itupun bukan buku tentang kesehatan"
"Aku masih anak-anak, otakku belum kuat membaca buku seperti itu. Oya, fakta apa tadi yang mau kamu beritahu kepadaku?"
"Yuni, kamu tahu? Seekor induk ayam ketika anaknya sudah besar, ia akan melupakan anaknya"
"Oh"
"Oh?"
"Juni mukamu merah," tiba-tiba Juni berdiri dan mengusap mukanya dengan kasar. "Juni, kenapa kamu menangis? Juni!" Mataku melotot menyadari Juni mulai berlari.
Aku juga berlari mengikuti Juni dengan tergesa-gesa. Kemarahan Juni adalah ketakutan terbesarku. Sampai sekarang ketika aku bertanya kenapa Juni menjadi aneh saat itu, ia tidak pernah mau menjawab. Yang terjadi adalah wajahnya kembali memerah seperti mau menangis lagi. Kejadian itu sudah lima tahun berlalu. Namun, masih terus tersimpan rapi di dalam memori otakku.
Kejadian itu menjadi kenangan masa lalu yang kerap kali muncul sewaktu-waktu. Pernah tiba-tiba muncul ketika aku sedang berdua dengan Juni. Atau ketika kami sedang berada di dalam kelas saat jam istirahat dan bercanda bersama teman-teman. Aku sering mengungkitnya lebih dulu. Wajah Juni langsung menjadi masam ketika aku mulai membahasnya.
Juni dan aku adalah sepasang sahabat. Kami bersahabat baik dan dekat. Persahabatan kami sudah terjalin sejak kecil. Kata kedua orang tuaku, aku dan Juni sama-sama terlahir saat matahari terbenam. Rumah kami berada di daerah pesisir pantai yang memiliki sunset sangat indah. Kami selalu pergi ke sana setiap sore untuk melihat matahari terbenam bersama-sama.