Aku selalu membuka pintu rumah semauku, sesukaku. Dan aku tidak pernah menutupnya kembali. Hal itu sudah menjadi kebiasaanku. Aku tidak pernah sopan jika berada di rumah.
"Oi Yuni, kamu sudah pulang. Sudah menjadi murid SMA tapi belum bisa mengucapkan salam dengan sopan." Sebuah suara terdengar dari arah kamar dengan pintu yang terlihat rusak.
"Berisik!" umpatku kesal. Aku mulai berjalan tanpa melepas sepatuku. Sengaja kubunyikan kakiku dengan keras untuk memancing perhatian orang di dalam kamar itu.
"Hei, pagi ini aku yang mengepel lantai! Kalau kamu tidak melepas sepatumu sekarang juga, aku akan mengguyurmu dengan sisa air pel untukmu!" Teriak suara laki-laki yang berada di balik pintu dengan topeng monster bergantung di gagang pintu. Stiker-stiker aneh memenuhi pintu itu. Aku sudah terbiasa dengan suara itu. Pemilik suara itu kakak laki-lakiku. Ia selalu mengancamku dengan beragam kalimat kasar saat aku berjalan menuju ke kamarku. Kakakku dengan suaranya yang seperti preman sudah beberapa kali mengeluarkan ancaman untuk mengguyurku. Namun, sampai sekarang ancaman itu tidak pernah menjadi kenyataan.
Aku berlalu dengan santai. Karena ancaman itu selalu lenyap berganti dengan ancaman lain. Tiba-tiba saja setelah aku membuka pintu kamarku, sebuah air mengguyurku. Aku melompat kaget dan segera mencari sumber air pel itu. Ketika aku menengok ke belakang, Raka, kakakku baru saja menaruh sebuah ember kosong ke lantai. Aku segera menghampirinya dan menarik kerah bajunya. Seluruh urat syarafku menonjol keluar baik dari tangan dan leherku yang kurus.
"Beraninya kakak mengguyurku! Baju seragam ini masih aku pakai besok! Cuci sekarang juga dan keringkan atau aku akan mengusir kakak dari rumah ini!" teriakku giliran mengancam. Kak Raka hanya terdiam. Ia terlihat menahan emosinya. Sambil terdiam, kakak melihatku mencopot baju seragamku lalu menungguku di luar kamar untuk mendapatkan seragamku.
Kak Raka adalah kakak yang lima tahun lebih tua dariku. Namun, aku selalu bisa mengalahkannya kapanpun aku mau. Kakak selalu menuruti semua permintaanku. Akulah yang tidak pernah sekalipun menurutinya. Sejak kecil kami selalu bertengkar dan aku selalu menjadi pemenang. Kakak akan menuruti semua permintaanku bergitu aku bilang akan mengusirnya. Aku tidak pernah tau mengapa, tapi kalimat itu selalu ampuh untuk memerintahnya.
Kuberikan semua bajuku yang terguyur air pel kepada kakak dengan melemparnya. Ia segera pergi membawa baju seragamku dan masuk ke kamar mandi. Suara pertama yang mengataiku tidak sopan tadi keluar dari pintu di samping kamarku. Pemilik suara itu adalah seorang wanita tua dengan bibir yang selalu merah merona. Pipi perempuan itu sangat tirus dan bahkan hampir membentuk seperti lubang.
Dulu pipi wanita itu mulus, tapi sekarang ada bekas lubang di mana-mana. Dari semua itu, yang paling parah adalah warna bedaknya. Putih seperti terigu. Tapi, terkadang ia memang mencampur terigu apabila bedaknya habis. Wanita tua itu sebenarnya masih muda. Wajahnya saja yang tua. Saat ia masih cantik, sering aku memanggilnya ibu. Sekarang aku tetap memanggilnya ibu, beberapa hari sekali untuk meminta uang.
"Aku sudah memasak makanan kesukaanmu. Cepat dimakan, nanti keburu dingin" ujar wanita tua itu sambil berlalu dengan menggaruk-garuk kepalanya. Aku segera menuju ke dapur. Telur goreng gosong sudah menantiku. Sambil berjalan menuju dapur aku mendengar suara kakak yang sedang menggosok baju. Mesin cucinya mati lagi, batinku. Aku mungkin bisa meminta bantuan Ayah Juni untuk memperbaikinya besok pagi.
Aku memandangi telur goreng gosong itu. Siapa sangka, meskipun gosong rasanya tetap seperti telur goreng biasa. Saat makan telur itu, tangan kiriku memegang botol kecap dan Juni selalu masuk ke dalam pikiranku. Waktu piknik sekolah aku membawa telur goreng gosong itu sebagai bekal. Tiba-tiba Juni memintaku untuk bertukar lauk bekal makan. Aku yang sudah terbiasa mengalah, dengan cuek memberikan bekalku kepadanya.
Bukannya terkejut, Juni malah dengan cepat langsung membuka kecap sachet dan melumuri telur itu dengan kecap. Ia memintaku untuk memakan bekal miliknya. Sementara dia akan memakan telur goreng gosongku. Dia sama sekali tidak muntah dan benar-benar menghabiskan telur itu. Sejak saat itu, Juni selalu membawa bekal makan lebih banyak untuk diberikan kepadaku.
"Ibu berangkat kerja dulu" pamit Ibu. Tubuh Ibu mengeluarkan bau wangi. Bau bunga-bungaan yang tidak pernah diganti. Sejak dulu ibu menyukai wangi bunga mawar. Semua wangi-wangian di rumah adalah wangi bunga mawar. Dari mulai pewangi ruangan hingga sabun mandi. Ayah pernah menahan malu di kantor karena tidak percaya diri bajunya wangi bunga mawar. Ayah sering mengeluh kepadaku karena takut mengecewakan Ibu. Aku merindukan Ayah yang selalu mengadu kepadaku. Sekarang aku tidak pernah menjadi tempatnya mengadu lagi.
Setelah makan sendirian aku kembali ke kamar untuk tidur. Aku melewati kakak yang sudah menjemur pakaian seragamku di tempat menjemur baju. Hatiku berniat untuk menemaninya, namun tubuhku terasa lelah. Aku membuka pintu dan menutupnya kembali sambil menguap. Suara keributan perumahan dan angin pantai memasuki telingaku hingga membawaku ke suatu tempat. Aku berada di sebuah ruangan yang bersih dan tertata rapi. Ruangan itu bau wangi bunga mawar.