Setelah menaruh bunga di makam Ayah dan berdoa, aku langsung pulang. Tentu saja bersama Juni. Sebenarnya kami berniat ke pantai untuk melihat sunset seperti biasa. Tapi, setelah selesai berdoa, tiba-tiba Juni bilang dia tidak ingin ke pantai. Juni merasa kurang enak badan. Sejak pagi wajahnya memang didominasi warna pucat.
Di sekolah, Juni izin kepada guru yang sedang mengajar untuk menenggelamkan wajahnya di atas meja. Kelas bukanlah tempat biasa Juni untuk tidur. Dalam satu semester ia mungkin hanya satu kali menghabiskan waktu tertidur di dalam kelas. Karena Juni sakit hari ini, itu akan menjadi kedua kalinya. Aku sempat memeriksa keningnya sewaktu istirahat dan perasaanku langsung mengatakan ia akan terserang demam.
Meskipun kami tidak berada di pantai, kami tetap bisa menikmati sunset. Jalan pulang yang kami lewati adalah jalan sepanjang bibir pantai. Hanya tinggal berbelok kanan, lalu berjalan beberapa meter dan melewati pembatas pantai tidak terlalu tinggi, kami sudah resmi berada di pantai.
"Kamu yakin tidak ingin ke pantai?" tanyaku sambil mengikuti Juni berjalan di belakangnya. Juni menggeleng terus fokus berjalan.
"Lihat langitnya sangat indah, Iho. Oh, ada awan permen kapas besar. Kamu menyukai awan seperti itu, kan?" Aku terus membujuk Juni. Jari telunjukku mengarah ke atas langit. Tanpa memperhatikan jariku yang menunjuk langit kepala Juni mendongak ke atas. Ia menghentikan langkahnya berjalan. Aku tetap berjalan sambil melihat ke atas juga. Begitu aku sudah disampingnya, kepala Juni tiba-tiba semakin mendongak dan ia pun tidak sadar tubuhnya mulai rubuh ke belakang. Dengan sigap aku menangkap tubuh Juni.
"Kamu terlalu bersemangat Juni" sahutku sembari menahan tubuhnya yang mulai terasa berat.
"Juni?" Juni tidak menyahut. Aku memegang lengannya. "Juni?" panggilku yang kedua kali. Namun, tidak ada jawaban lagi dari Juni. Tubuh Juni tidak bergerak. Pelan-pelan aku mencoba untuk membuatnya berdiri. Saat aku berhasil melakukannya, tubuh Juni merosot jatuh ke bawah dan akhirnya menyentuh jalan. Tubuhku dan Juni dikelilingi banyak debu. Mata Juni sudah tertutup rapat. Ia pingsan. Aku dapat merasakan suhu panas pada tubuh Juni. Juni benar-benar sudah demam sekarang.
Butuh waktu lima menit untuk Paman membukakan pintu. Ternyata Paman sedang mandi. Setelah membuka pintu rumah dan melihat Juni tidak sadarkan diri di pundakku, Paman menjadi sepanik aku ketika terkena tubuh pingsan Juni. Paman menyuruhku membawa Juni masuk dengan wajah panik. Aku membaringkan Juni di sofa empuk ruang tamu. Kata Paman, di ruangan itu ada alat pernapasan yang siap menolong Juni jika keadaannya bertambah buruk. Paman sengaja menaruhnya di dalam meja di samping sofa agar mudah dicari.
Aku menyelimuti Juni dengan selimut warna biru yang baru saja Paman sampirkan di atas pundakku. Paman terlihat sibuk berlarian mengambil obat Juni juga mencari perlengkapan untuk kompresan. Aku melihat Paman mengeluarkan alat pernapasan berukuran sedang berwarna putih.
Seingatku Juni tidak memiliki penyakit yang membuatnya membutuhkan alat pernapasan. Yang aku tahu tubuh Juni memang gampang sakit. Sejak kecil ia sering pingsan jika kelelahan. Juni akan langsung terserang demam bila kehujanan. Setiap dia pingsan di sekolah, akulah yang selalu menemaninya di UKS dan menemaninya ke rumah sakit apabila keadaannya semakin memburuk.
"Alat pernapasan itu untuk apa Paman?" tanyaku setelah memastikan keadaan Paman memungkinkan untuk diajak berbicara. Emosi Paman juga sudah stabil. Kekhawatiran yang meledak tadi sudah hilang. Setelah menaruh handuk basah di kening Juni, Paman segera menerima pertanyaanku.
"Hari minggu kemarin Juni pingsan di dapur. Biasanya Juni tidak pernah pingsan sangat lama. Namun, ia tidak kunjung sadar. Karena panik, paman langsung membawanya ke rumah sakit. Begitu dokter memeriksanya, saat itu juga dokter langsung berkata Juni terkena serangan asma. Awalnya paman tidak percaya. Kamu tahu sendiri, Juni tidak mempunyai riwayat penyakit asma. Kata dokter, serangan asma bisa menyerang siapa saja tanpa peduli orang itu memang sakit asma atau tidak."
Suasana menjadi sunyi mencekam. Hanya terdengar suara napas Juni yang masih tidak teratur. Aku masih melihat alat bantu pernapasan itu dengan wajah nanar. Paman tiba-tiba berdiri dan mengambilnya. Aku mengikuti langkah kaki paman.
"Sekarang sudah saatnya dia memakainya" imbuh Paman. Pelan-pelan ia membangunkan tubuh Juni. Paman mengubah posisi Juni menjadi duduk dengan sangat hati-hati. Aku membantunya sedikit, dengan memegang pundaknya. Mungkin aku terlalu bersemangat membantu. Tanganku memegang pundak Juni terlalu keras sehingga membuat kepalanya limbung lagi ke belakang.
Mata Juni tetap setia menutup, tapi dia sudah sadar. Juni sempat mendesah lemah merasakan tanganku memegang pundaknya terlalu keras. Paman menaruh masker oksigen di hidung Juni dan mulai menyalakan sebuah tombol. Sebuah suara menderu lirih terdengar dan asap-asap tipis keluar dari sebuah lubang-lubang kecil. Paman bilang, asap-asap itu adalah obat yang harus dihirup Juni.
"Yuni ... " Juni memanggilku lemah. Ia mencoba membuka mata. Aku tersenyum kepadanya sambil memegang pundak dan menyangga punggungnya dengan tubuhku.