SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #4

4. Anak Baru

Juni mengamati satu tangkai bunga mawar sekali lagi, kemudian mengambil tasnya dan berjalan keluar kamar dengan wajah berseri. Bahkan kedua kaki Juni sempat menari-nari kecil. Terakhir kali Juni menari, adalah saat perpisahan sekolah dasar. Ia menggerakkan kakinya sama persis dengan tarian yang dia mainkan saat perpisahan sekolah dasar dulu. Kaki Juni menyilang, kemudian melompat, menyilang lagi dan melompat lagi.

Juni memasukkan setangkai bunga mawar pemberianku ke dalam botol yang setengahnya terisi air. Bunga mawar di dalam botol itu bergerak kecil, seolah-olah melepas kepergian Juni ke sekolah. Beberapa saat setelah Juni menutup pintu, di atas meja belajar, bunga itu bergerak semakin tidak terkendali tertiup angin dari jendela kamar Juni. Juni menemuiku di depan rumah. Menghilangkan tarian aneh di kakinya dan kami segera terlihat berjalan bersama-sama. Demam Juni sudah hilang. Kami berangkat sekolah seperti biasa.

Sesampainya di kelas, tidak biasanya kelasku dan Juni ramai dipenuhi oleh lautan murid perempuan. Hal seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya. Aku menarik tangan seorang siswa perempuan yang sudah aku hafal dari ciri-ciri tubuhnya. Mei yang berbadan gendut sangat mudah untuk dikenali.

"Mei, ada apa ini?" tanyaku sambil berusaha untuk menarik perhatiannya karena kepalanya masih membelakangiku dan mengarah ke depan.

"Ada murid baru. Anak laki-laki. Wajahnya tampan sekali seperti tokoh-tokoh di dalam komik Jepang" pekik Mei kegirangan. Suara girangnya seperti suara gadis manis yang bertemu idola favoritnya. Mei bahkan mulai menjerit seusai menjawab pertanyaanku. Suara jeritan Mei menjadi pembuka jeritan para murid perempuan yang sedang berkumpul di kelasku. Juni lebih penasaran dariku, ia mencoba menerobos masuk ke dalam kerumunan para murid perempuan yang mulai kelihatan ribut.

Setelah berusaha menerobos kerumunan siswa perempuan, langkah Juni tiba-tiba terhenti. Juni berhenti tepat di samping murid baru berwajah tampan itu. Murid baru itu memang tampan, wajahnya sangat rupawan. Ada sedikit gurat manis yang tercipta dari bibir tipisnya. Tapi, menurutku ia tidak seperti tokoh laki-laki di dalam komik Jepang. Penampilannya lebih mirip seperti oppa-oppa Korea. Murid baru itu duduk santai di samping tempat duduk Juni yang merupakan tempat dudukku. Aku merasa sangat tidak terima. Juni menahanku untuk tidak mengomel dengan menyentuh punggungku. Hati sensitif Juni selalu tahu aku mudah emosi.

Anak laki-laki itu duduk sambil menyilangkan kedua lengannya. Ia menutup mata untuk menenangkan diri. Sebenarnya dia merasa tidak nyaman dikerumuni seperti ini. Saat dia mencoba untuk membuka matanya kembali, Juni sudah duduk di sampingnya. Aku berdiri di samping tempat duduk Juni sambil memperhatikannya sangat tajam. Aku berharap dia tahu.

Juni membuka buku. Mencoba mengalihkan perhatiannya dari keributan kelas untuk membaca. Ia juga merasa tidak nyaman dengan keramaian yang dihasilkan para murid perempuan dari berbagai kelas. Murid baru itu tetap melihat ke arahku dan Juni. Namun, matanya lebih mengarah kepada Juni.

"Hei, kamu yang waktu itu, kan?" suara anak baru itu tiba-tiba muncul. Bisa ditebak, seisi ruangan seketika semakin ramai. Para murid perempuan kembali menjerit-jerit begitu mendengar anak baru itu berbicara.

"Wah! Tidak hanya wajahnya yang tampan, suaranya pun keren!" teriak seorang murid perempuan modis di sampingku. Merasa tidak diperhatikan oleh Juni, murid baru itu langsung berdiri dan menunduk untuk meletakkan kedua tangannya di meja Juni. Juni yang tidak benar-benar sedang membaca segera memalingkan muka menatapnya. Anak laki-laki itu kemudian menatap Juni semakin teliti, sambil menlontarkan pertanyaan yang sama.

"Kamu yang waktu itu, kan?" tanyanya untuk yang kedua kali.

"Kamu juga yang waktu itu, kan?" sela Juni bertanya juga. Perhatianku pada keduanya teralihkan oleh suara ketua kelas yang baru saja sampai di kelas. Ia memanggilku untuk membantu mengusir kerumunan murid perempuan yang semakin membludak menjelang jam masuk. Mendadak aku mengutuk para guru yang tidak kunjung datang. Aku tidak bisa menolak, karena aku adalah wakil ketua kelas.

Lihat selengkapnya