Suatu malam aku mendapatkan mimpi aneh. Aku kembali bermimpi menikah dengan Juni. Tapi, di mimpiku kali ini ia tidak kelihatan bahagia. Di mimpiku sebelumnya, Juni kelihatan sangat bahagia menikah denganku. Aku sempat bertanya kepada Juni di mimpiku, tapi Juni tidak menjawab apa-apa. Di belakang Juni aku melihat Orlin berjalan mendekati kami. Tiba-tiba Juni memelukku dengan erat dan mulai menangis di pundakku.
Tangisan Juni semakin kencang sampai membuatku terbangun dengan napas memburu. Tarikan napasku sempat sesak sesaat. Keringat bercucuran dan memenuhi pelipisku. Saat berusaha mendapatkan napas yang normal kembali, aku teringat dengan Orlin di mimpiku. Aku berniat akan menceritakan mimpiku kepada Juni. Aku penasaran bagaimana reaksinya.
"Itu hanya mimpi Yuni" lagi-lagi Juni berkata seperti itu. Dengan tenang dan enteng seperti biasa. Juni adalah sahabatku yang sejak kecil tidak pernah ingin bermasalah dengan mimpi.
"Mimpiku kali ini aneh, Jun. Aku merasa mimpi ini membawa pertanda"
"Kamu baru bermimpi seperti itu satu kali, belum bisa menjadi sebuah pertanda" elak Juni kembali memasang wajah tenang. Aku mendengus sebal. Dengusanku justru membuat wajah Juni semakin terlihat tenang. Tangan dingin Juni menyentuh keningku.
"Kamu tidak sedang sakit kan, Yun?" Juni merasa perlu mempertanyakannya. Aku menggeleng sambil tetap membiarkan tangannya menyentuh keningku. Hatiku selalu merasa nyaman ketika tangan Juni berada keningku. Sayang, Juni hanya menyentuh tanpa mengelusnya.
"Yun, aku juga ingin memberitahumu sesuatu. Kemarin tiba-tiba saja ada yang menaruh bunga mawar di depan rumahku"
"Benarkah? Sungguh? Dari siapa?" Juni mengangguk beberapa kali. "Entahlah. Bunga mawarnya lumayan banyak. Jadi, tidak mungkin kamu yang mengirim, kan?"
"Mana mungkin aku mempunyai uang untuk membelinya. Bunga mawar untuk Ayah kemarin saja, menghabiskan tabungan uangku selama satu minggu"