Aku selalu menantikan pagi. Setiap pagi, aku akan pergi ke sekolah bersama Juni, terbebas dari rumah yang serba membosankan dan semakin hancur. Ibu bertambah malas. Tidak bertanggung jawab sebagai Ibu. Ia tidak pernah memasakanku telur goreng gosong lagi. Sudah beberapa hari aku meninggalkan makan malam. Setiap hari hanya mie instan yang aku makan. Aku tidak mau menceritakan hal itu kepada Juni. Aku takut ia akan menjadi "ibu kedua" untukku.
Kak Raka jarang pulang. Beberapa hari yang lalu, kakak bilang diterima bekerja di sebuah bengkel. Di bengkel itu Kak Raka diharuskan bekerja ekstra keras. Meskipun jarak bengkel dari rumah tidak terlalu jauh, pemilik bengkel mewajibkan kakak untuk menginap di sana. Sebagai gantinya, Kak Raka akan mendapatkan gaji yang dipenuhi bonus. Meskipun begitu aku tidak terlalu memperdulikannya. Dari dulu kakak memang pekerja keras. Kakak sudah terkenal berantakan, tapi Kak Raka bukanlah pria yang malas.
Pagi ini, untuk pertama kalinya Ibu dan Kak Raka kompak menghilang. Ketika mereka berdua tidak ada di rumah aku merasa sangat bebas dan merdeka. Tidak ada Ibu yang cerewet dan kakak yang pemarah. Aku bebas melakukan semua kegiatan yang aku mau. Aku dapat menjadi diriku sendiri tanpa memendam emosiku. Aku menjadi Yuni si gadis ceria.
Selesai mandi aku berpikir untuk membereskan rumah. Sejak Ayah meninggal dan keluargaku menjadi hancur, aku tidak pernah lagi peduli tentang kebersihan. Pertama-tama aku ingin membereskan kamarku. Sebuah suara melintas di telingaku dan membuatku hampir terjatuh dari tangga. Saat berpegangan tangga aku melihat Ibu keluar dari dapur. Aku melanjutkan langkah menuruni tangga sambil mulai memendam emosiku seperti biasa.
"Ayo sarapan dulu," ajak Ibu dengan wajah datar. Tubuh Ibu yang ramping bergeser ke kanan untuk menarik kursi mendekat ke meja makan. Aku melihat nasi yang masih mengeluarkan asap, semangkuk sup brokoli, ikan goreng, tempe goreng, sambal, dan kue pukis. Melihat semua makanan itu, perutku segera bergejolak.
Hidungku puas mencium bau roti pukis, perutku berbunyi dengan keras. Aku segera mengambil menu makanan yang aku sukai. Aku tidak suka sayur jadi aku mengambil dua ikan goreng ditambah sambal. Ibu memperhatikanku terus hingga aku mulai memasukkan ikan goreng bersama nasi ke mulutku. Sambil memperhatikanku makan, mata Ibu tidak kelihatan bercahaya sama sekali.
Beberapa hari yang lalu saat mata Ibu gelap dan tidak bercahaya seperti itu, Ibu didatangi Ayah Juni. Aku meminta Paman datang ke rumah untuk memperbaiki mesin cuci. Selain sebagai juru masak, Paman terkenal di sekitar rumah karena kepintarannya memperbaiki alat-alat rumah tangga. Ibu membukakan pintu untuk Paman dan begitu terkejut melihat kedatangan Paman. Diam-diam, sudah lama Paman beberapa kali mengawasi Ibu saat sedang bekerja. Tempat bekerja Paman dengan Ibu hanya berjarak beberapa meter.
Paman sering mampir ke sebuah kafe besar tempat Ibu bekerja. Ia sengaja duduk di dekat pintu masuk, lalu selalu memesan minuman rasa jeruk. Paman tidak pernah memesan apapun lagi, karena jika Paman memesan makanan atau minuman lain, bukan Ibu yang mengantarkan pesanannya. Sudah hampir setengah tahun Paman melakukan aksi diam-diamnya. Ibu pernah memergokinya. Namun, mereka berdua tidak pernah mengobrol lama. Hari itu, waktu memperbaiki mesin cuci, mungkin menjadi kesempatan yang dimanfaatkan dengan baik oleh Paman.
Paman langsung masuk tanpa Ibu suruh. Gerakan masuknya lumayan canggung. Paman berkata permisi dengan lirih untuk mengurangi kegugupannya. Tanpa basa basi Paman menanyakan di mana mesin cuci yang harus diperbaiki. Ibu mengantar Paman menuju ke dapur dan tanpa basa-basi lagi Paman langsung memperbaiki mesin cuci itu. Tanpa basa-basi tidak ada di dalam diri Paman. Paman yang sesungguhnya sama sepertiku, cerewet dan selalu ingin mengajak bicara orang di dekatnya.
Ibu membuka kulkas untuk membuatkan sesuatu. Tanpa sengaja Ibu melihat sirup rasa jeruk. Ibu teringat dengan Paman yang suka memesan minuman jeruk ketika berkunjung di kafe. Tidak lama kemudian Ibu terlihat menuangkan sirup itu ke dalam dua gelas dan sibuk mengaduknya. Mendengar suara Ibu mengaduk minuman, Paman mulai memegang area dadanya, berusaha menyembunyikan degupan aneh yang tiba-tiba melanda.
Berbeda dengan Paman, Ibu tidak pernah merasa gugup. Itu terbukti dari mata Ibu yang selalu terlihat datar, tenang, dan gelap tanpa cahaya. Paman yang sedang membelakangi Ibu tidak sadar jika sedang diawasi mata Ibu dari belakang. Mendadak sosok Paman menjadi magnet bagi mata Ibu. Saking gugupnya, Paman sampai terpeleset saat hendak berdiri. Paman mencoba bangun berpegangan pada mesin cuci dengan susah payah. Di belakangnya Ibu sudah menutup mulut menahan tawa.