SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #7

7. Crossdressing

Aku tidak lagi memusingkan kejadian mimpi anehku tentang pernikahan Juni. Tidak enak jika membahas mimpi terus menerus dengan Juni. Sejak kecil, Juni adalah manusia yang tidak pernah memusingkan mimpi. Mimpi itu perlahan-lahan mulai terlupakan karena beberapa hari ini aku tidak pernah bermimpi seperti itu lagi. Aku juga tidak ingin hanya membahas soal mimpi jika bersama Juni. Apalagi sekarang ada Orlin yang selalu mengikuti kami kemana-mana.

Karena tidak tahan pernah suatu hari aku bilang kepadanya jika keberadaannya menggangguku dan Juni. Tiba-tiba ia menangis dengan wajah sangat sedih. Akhirnya, akulah yang merasa bersalah dan meminta maaf kepadanya. Beberapa minggu bersama dengan Orlin, aku dan Juni semakin mengenal Orlin lebih jauh. Hubungan kami pun sedikit demi sedikit bertambah dekat.

Orlin remaja laki-laki baik dan jujur. Setiap ulangan ia tidak pernah menyontek. Namun, dengan senang hati Orlin selalu membantuku dan Juni sewaktu kelabakan mencari jawaban. Otak Orlin termasuk pandai dan cerdas. Ia selalu bertanya dengan kritis di semua mata pelajaran. Orlin juga perhatian. Perhatian yang ia berikan kepada Juni dan aku cukup rata. Orlin tidak pernah membeda-bedakan di antara kami bertiga. Yang paling membuatku kagum adalah Orlin sekolah sambil bekerja.

Orlin bilang bekerja sambilan sebagai model majalah. Ia memulai debutnya sebagai model tanpa bantuan sang ibu sama sekali. Padahal Ibunya mantan model senior yang sudah terkenal di majalah kota. Orlin bilang tidak ingin sukses karena membawa nama ibu. Ia sudah melamar di berbagai majalah dan tidak sedikit majalah yang menolaknya. Aku cukup tersentuh dengan ceritanya. Orlin kerap menceritakan itu kepadaku dan Juni saat kami bertiga sedang melihat sunset bersama-sama. Ia menceritakan perjuangan kerasnya menjadi model sambil berlinangan air mata. Menjadi anak model terkenal, tidak selamanya menyenangkan.

Karena kesibukan Orlin, bekerja sambil sekolah, di usia yang masih muda yaitu enam belas tahun, Orlin sering mengalami kelelahan dan izin tidak berangkat ke sekolah. Dalam satu bulan Orlin selalu bolos sekolah. Kadang satu hari, dua hari, dan pernah sampai tujuh hari karena ia melakukan pemotretan di luar kota. Juni yang sering mengajaknya melihat sunset bersamaku mulai tidak berani mengajak Orlin bermain, setelah tahu kesibukannya bekerja.

Semua guru sudah tahu dan memakluminya. Kisah perjuangan Orlin membuatku ingin menulis biografi tentang dirinya untuk majalah dinding. Sudah saling kenal saja belum terasa cukup bagiku. Karena itu, hari ini aku membawa Juni untuk menemaniku ke rumah Orlin untuk mewawancarainya.

Menemukan rumah Orlin tidak sulit. Orlin tinggal di sebuah perumahan yang terkenal elit di kawasan pesisir pantai. Aku dan Juni tinggal berjalan satu setengah kilometer dari kompleks kecil kami. Apalagi rumah Orlin menyatu dengan usaha toko baju milik sang ibu. Rumah yang menyatu dengan toko, pasti kelihatan besar dan mencolok.

Tidak butuh waktu lama, aku dan Juni melihat Orlin menyambut kami di depan sebuah rumah minimalis bercat abu-abu. Orlin memakai kaos dan celana pendek berwarna hitam modis ala-ala model. Ia kelihatan senang sekali melihat kedatanganku dan Juni meskipun kami belum benar-benar sampai di rumahnya. Dari jauh Orlin sudah melambaikan tangan beberapa kali kepada kami.

Juni membalas lambaian tangan Orlin sambil tersenyum manis. Sementara aku juga melambai sambil memegang buku kecil yang sudah terisi oleh beberapa pertanyaan. Begitu kami sampai di depan rumah Orlin, ia langsung menyeret tanganku dan Juni. Orlin menyuruh kami masuk ke dalam rumahnya, sambil berkata ini pertama kalinya ada teman yang mengunjungiku di rumah dengan sangat kegirangan. Rumah Orlin berukuran sedang. Karena sebagian rumah telah dikuasai ibu untuk menjalankan tokonya. Rumah Orlin memiliki banyak sekali jendela. Aku penasaran bagaimana cara membersihkan dan betapa repotnya membuka dan menutup jendela itu setiap hari.

"Aku senang sekali. Ini pertama kalinya ada teman yang mengunjungiku. Jadi begini rasanya dikunjungi seorang teman" girang Orlin untuk kesekian kali masih dengan semangat yang menggebu-nggebu. Aku tidak memperhatikan wajah sangat kegirangan Orlin, namun aku memperhatikan suara Orlin sedikit berbeda. Lebih melengking dan tinggi dari biasanya. Tiba-tiba aku merasa ada sesuatu yang ketinggalan. Sambil membuka tas aku mencoba mencari perekam suara yang lupa aku taruh di mana. Melihat aku kelabakan mencari sesuatu Orlin segera menawari bantuan.

"Kamu sedang mencari apa?" tanya Orlin penasaran. "Perekam suara" jawabku singkat. Aku terus sibuk mencari perekam suara sendirian. Juni yang ada di sampingku hanya duduk manis dan melihat. Juni bantu aku kenapa, pintaku mengggunakan tatapan kepadanya. Juni segera menangkap sinyal yang aku berikan. Ia mendekat kepadaku, lalu membantuku mencari perekam suaraku dengan gerakan lambat.

"Aku punya perekam suara. Pakai punyaku saja. Tunggu sebentar aku ambilkan, ya" tawar Orlin sambil berjalan dan masuk ke sebuah pintu dekat tangga rumah. Terdengar suara benda jatuh begitu Orlin masuk ke pintu itu, membuat aku dan Juni saling berpandangan curiga. Juni memutuskan mengajaku untuk mengingat kembali di mana aku menyimpan perekam suara itu.

Aku mulai membayangkan hal-hal yang aku lakukan tadi di sekolah. Juni terdiam, namun ia tidak ikut mengingat dan malah kelihatan mengantuk. Mata mengantuk Juni yang hampir terpejam kembali terbuka, saat sebuah suara langkah kaki pelan-pelan mendekat. Juni mengangkat kepalanya, di depannya seorang wanita paruh baya datang membawa beberapa gelas minuman dingin.

"Sila diminum," kata wanita itu. Suara wanita itu serak sekali. Seperti suara seseorang yang menderita penyakit batuk yang parah. Juni menunduk tersipu-sipu.

"Terima kasih. Maaf merepotkan ibu" jawab Juni sambil membantu wanita itu menaruh gelas-gelas minuman di atas meja.

"Kalian teman Nona Orlin, ya?" ucap wanita itu lagi sambil terenyum lembut kepada Juni kemudian menoleh kepadaku.

"Nona?" seruku dan Juni kompak. Kami berdua terkejut secara bersamaan.

"Iya. Kenapa kalian kelihatan terkejut sekali. Ah, atau jangan-jangan kalian belum tahu jika Nona Orlin itu perempuan?" Nada bertanya wanita itu mulai mengajak tertawa. Aku dan Juni saling berpandangan lagi kemudian menggeleng ragu. Memandang wanita itu dengan mata luar biasa takjub.

"Nona Orlin itu perempuan. Dia sengaja memakai seragam laki-laki di sekolah. Katanya Nona ingin mencoba ber-crossdressing atau apalah itu"

"Crossdressing?" seruku dan Juni lagi-lagi bersamaan.

"Nona Orlin ingin mencoba mencari tahu bagaimana reaksi orang-orang atas penampilannya sebagai seorang laki-laki. Apabila banyak orang yang merespon, ia akan melanjutkan crossdressing-nya itu" tambah wanita paruh baya itu sambil tetap tersenyum.

"Akan melanjutkan crossdressing?" ulangku dengan suara sedikit keras. Wanita itu tiba-tiba terbatuk. Beberapa saat kemudian Juni menarik lengan bajuku. Saat aku terjun ke kedua bola matanya, Juni menggerakkan jari telunjuknya untuk menunjuk ke depan. Aku melihat di depan kami Orlin sedang berjalan pelan-pelan sambil membawa benda kecil di tangan lentiknya. Rambutnya kini panjang dan ia memakai rok musim panas yang sedang ngetren di kalangan gadis remaja.

Lihat selengkapnya