Setiap pagi, setelah bangun tidur, Juni memiliki kebiasaan olahraga sebentar di depan rumah. Tidak banyak gerakan olahraga yang Juni lakukan. Ia lebih suka berlari kecil, sit up sedikit, kemudian latihan pernapasan. Yang terakhir adalah hal yang sedang gencar Juni lakukan. Sejak terserang asma, Juni menjadikan latihan pernapasan sebagai kebiasaan. Dalam keadaan apapun, ia selalu menyempatkan diri untuk mengatur napas.
Sewaktu latihan pernapasan Juni terlihat serius, wajahnya menjadi lucu. Latihan pernapasan Juni tidak pernah luput dari kejahilan Paman. Saat Juni sedang menutup mata, Paman sering memasukkan bulu ayam ke hidungnya. Untung saja kejahilan Paman tidak terjadi setiap hari. Latihan pernapasan Juni selalu diakhiri dengan bersin-bersin.
"Ngomong-ngomong, kemarin ada bunga mawar lagi lho, di depan rumah" sindir Paman sambil mencubit hidung Juni. Juni meringis kesakitan karena cubitan Paman pagi ini terasa sakit dan seperti tidak bercanda.
"Ayah tidak mau melihat kamu terlibat konflik cinta. Cepat temukan si pengirim itu. Ayah sudah tidak tahan. Ayah cuma khawatir kamu kenapa-napa" Paman menasihati Juni sembari menepuk-nepuk kepala atas Juni dengan lembut.
"Baik, Yah" singkat Juni, membetulkan rambutnya yang tersibak tangan Paman. Setelah Paman berangkat bekerja, Juni kembali ke dalam rumah. Ia langsung menuju dapur. Mata Juni terbelalak melihat bunga mawar yang sudah mendominasi ruangan dapur. Di meja makan, di atas kulkas, di samping rak piring dan bahkan di bawah meja. Semuanya terisi bunga mawar. Beberapa di antaranya sudah terlihat kering dan tidak menggairahkan untuk dipandang. Juni memutuskan untuk membuang bunga mawar yang sudah mengering seperti daun kering.
"Maaf Juni, aku tidak bisa membantumu" ucapku suatu pagi cerah dengan cahaya matahari tepat mengenai mukaku.
"Kenapa?" Juni bertanya dengan suara kecewa. Ia sengaja memasang wajah memelas supaya aku mau mengabulkan permintaannya. Karena aku menolak, wajahnya menjadi sangat mengkhawatirkan sekarang.
Juni memintaku membantunya menemukan siapa pengirim bunga mawar itu. Namun, aku tidak terlalu tertarik untuk membantu. Selagi si pengirim tidak meneror Juni dengan hal-hal aneh yang membahayakan, aku belum ingin melangkah lebih jauh. Mungkin bunga mawar itu dikirim oleh penggemar Juni. Kejadian itu pernah terjadi sebelumnya saat kami masih SMP. Pengirimnya adalah gadis paling pemalu di sekolah. Juni menyerah memohon kepadaku. Dia tahu aku gadis berkepala keras. Akan semakin menjadi batu jika ia memaksaku.
"Ibuku mulai memasak lagi" kataku datar. Di sampingku Juni berteriak dengan cukup kencang. Seorang pengendara ojek online lewat di samping kami. Ia kelabakan menginjak rem karena teriakan Juni.
"Ya" gumamku singkat. "Pagi ini Ibu memasak telur goreng, tapi tidak gosong" tambahku. Juni tersenyum lembut disampingku. Aku melihatnya dan entah kenapa aku ingin tanganku menonjok pipinya dengan cukup keras. Muncul perasaan aneh dari dalam dadaku. Jika aku merasa seperti itu, aku selalu memukul apapun di sekelilingku. Pagi ini, adalah takdir Juni terkena pukulanku.
Sudah lama Ibu tidak memasak telur gosong lagi. Sebenarnya itu hal yang bagus. Terutama untuk Kak Raka. Kakak yang selalu jajan dan makan di luar rumah adalah faktor utama yang membuat krisis ekonomi keluarga semakin parah. Dengan kembalinya Ibu memasak, itu berarti pintu taubat bagi Kak Raka sudah terbuka lebar. Akhirnya, Kak Raka bisa duduk manis lagi di meja makan. Pagi ini, aku sarapan bersama dengan kakak untuk pertama kali setelah beberapa tahun.
Orlin tidak berangkat ke sekolah hari ini. Kemarin kami berdua menertawakan ayam Juni sampai puas. Bahkan hingga pulang sekolah Orlin masih cekikikan karena ayam-ayam Juni. Mungkin karena terlalu banyak tertawa ia jadi sakit. Hari ini Orlin tidak berangkat sekolah dengan alasan sakit. Dugaan ngawurku barusan ternyata benar.
Saat jam istirahat aku menemani Juni membaca buku di perpustakaan. Aku meletakkan sebuah kamus Bahasa Inggris tebal untuk menghalangi mukaku. Aku berniat ingin tidur. Juni sedang serius membaca kamus Biologi. Matanya berlarian ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Memandangnya membuatku menjadi mengantuk.