SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #11

11. Identitas Asli Orlin

Jam lima sore bayanganku terlihat bergerak-gerak dengan cepat sambil membawa sesuatu. Angin yang bertiup kencang membuat benda yang aku bawa hampir lepas dari tanganku. Karena tidak ada baju yang cocok, aku mulai emosi dan sedikit putus asa. Sambil ditemani sunset, aku datang ke rumah Paman untuk meminjam gaun ungu milik Ibu Juni. Tentu tanpa sepengetahuan Juni. Aku ingin memberi kejutan untuknya. Paman setuju membuat kedatanganku hari ini menjadi rahasia.

Rumah Orlin dipenuhi tamu selepas azan maghrib. Aku cukup lama bersembunyi di dalam kamar Orlin. Kamar Orlin berada di lantai dua. Saat ini, aku menunggu Orlin mandi di sebuah kursi goyang. Bibi ramah yang kemarin bersuara serak baru saja keluar dari kamar Orlin. Masih sambil batuk-batuk. Ia membuatkanku minuman hangat. Kupandangi minuman itu dengan perasaan aneh dan tidak tenang. Sunset masih menyisakan semburat warna merah. Ada sisa awan tebal sepeti permen kapas. Aku yakin Juni sedang melihatnya.

Juni berlari dengan cepat tanpa memperhatikan sekitarnya. Ia tidak menyadari jika sunset sore ini begitu sempurna dan menyenangkan untuk dilihat. Dalam pikirannya, Juni menyesal karena terlalu sibuk tertidur sore tadi. Ia pun harus menerima keterlambatannya sendiri. Juni keluar rumah langsung berlari. Sebelum ke tempat Orlin, ia mampir ke rumahku. Namun sayang, rumahku sudah kosong tidak berpenghuni. Akhirnya, Juni kembali berlari ditemani sisa cahaya matahari.

Orlin sangat mengerti masalah berdandan. Aku tidak jaim lagi menunjukan rasa kagum kepadanya. Sebelum mulai mengoleskan sebuah krim di wajahku, ia memberiku beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan kulit. Apakah ada riwayat jerawat, alergi, hingga ukuran pori-pori. Setelah semua pertanyaannya terjawab, Orlin langsung mengoleskan krim berwarna putih secara lembut dan merata ke seluruh wajahku. Tanpa kehilangan konsentrasi Orlin terus mengajakku mengobrol.

Sambil menyapu wajahku dengan bedak, Orlin menjelaskan beberapa jenis bedak dari mulai yang termurah hingga paling mahal. Tapi, kata Orlin bedak mahal atau tidak, bukan masalah utama. Yang paling penting adalah bedak itu cocok di wajah kita. Selesai melukis wajahku, Orlin bilang jika kulitku sedikit kering. Ia lalu mengambil sesuatu dari dalam laci meja riasnya dan memberikannya kepadaku.

"Apa itu?"

"Sudah aku duga kamu tidak tahu. Ini masker wajah. Aku berikan masker ini untukmu. Pakailah satu minggu sekali, ya" perintahnya sambil menyerahkan masker itu kepadaku.

"Untukku?" tanyaku memastikan. Tanganku terlanjur menerimanya dengan heran. Orlin mengangguk mantab. Jemari lentiknya sangat lihai membetulkan rambut palsu yang terpasang di kepalaku.

"Jika kulit keringmu belum sembuh. Besok datang lagi ke rumahku. Aku akan memberikan masker lain yang lebih ampuh" tambah Orlin. Ternyata Orlin sangat baik. Aku sedikit menyesal telah sebal hanya gara-gara gaun ungu berpita biru kemarin. Giliran aku yang mengangguk pelan. Sekali lagi hatiku bersyukur. Orlin adalah gadis baik yang tidak pelit.

Lihat selengkapnya