Malam minggu, tepatnya sabtu siang, aku dikejutkan dengan kedatangan beberapa teman Ibu. Aku sangat bersyukur mereka bukan teman Ibu bekerja di kafe. Mereka adalah ibu-ibu ramah yang tinggal di sekitar rumah. Sebagian dari mereka tidak bekerja dan memilih untuk mengurus anak di rumah. Teman Ibu yang datang tidak banyak. Hanya enam orang. Tapi, masing-masing dari mereka membawa anak. Ibuku bertanya kenapa tidak suami saja yang menjaga. Mereka kompak menjawab suami kurang bisa menjaga anak. Aku jadi teringat Ayah. Dulu Ayah selalu menjagaku sewaktu Ibu pergi arisan atau ke acara lain.
Jika para ibu datang, rumahku menjadi seperti penitipan anak. Anak-anak para Ibu berlarian di sekitar ruangan, naik turun tangga, keluar masuk dapur, dan yang paling membuatku kesal, salah satu dari anak yang naik turun tangga itu kembali ke pangkuan ibunya sambil membawa barang-barang dari kamarku. Diam-diam dia masuk ke dalam kamarku. Kedatangan mereka membuatku menjelma menjadi pengasuh anak-anak. Saat acara para Ibu dimulai, Ibu memberiku sinyal untuk membawa anak-anak keluar untuk bermain. Di luar, mereka kelihatan lebih tenang. Para anak perempuan bermain masak-masakan, sementara anak laki-laki mengantri dengan sabar untuk membeli masakan mereka.
Sebelumnya jarang ada perkumpulan seperti ini di rumah. Ibu bukan orang yang aktif berorganisasi. Tapi, mungkin karena Ibu ingin berubah. Seperti kata-katanya yang ingin memasakkan masakan enak untukku lagi. Aku melihat Ibu mengobrol dengan para ibu tanpa canggung sedikitpun. Sesekali Ibu tersenyum lepas dan tertawa. Suara tertawa Ibu sanggup membuat orang di sekitarnya ikut tertawa. Meskipun tidak aktif di organisasi sekitar rumah, Ibu tetap disukai warga sekitar karena Ibu orang yang ramah.
Sekitar pukul tiga sore, pertemuan selesai. Keenam ibu itu berterima kasih kepadaku karena telah menjaga anak mereka. Aku mengangguk sambil mengantar mereka keluar pintu gerbang. Anak-anak yang aku jaga selama empat jam itu sudah berada digendongan ibu mereka masing-masing. Ada dua anak yang terlelap dengan nyaman. Setelah keluar pintu gerbang, anak-anak yang masih terjaga kompak melambaikan tangan kepadaku. Aku membalas lambaian tangan mereka sambil menjulurkan lidah.
"Tolong cuci piringnya ya, ibu mau ke rumah Paman Rizki sebentar" suruh Ibu kepadaku. Di dapur Ibu terlihat sibuk membungkus beberapa makanan yang tadi dihidangkan untuk pertemuan. Ada lemper, manisan, kue kering, keripik, dan yang paling aku sukai peyek udang. Ibu memasukkan satu persatu semua makanan yang tersisa ke dalam plastik bening. Makanan itu dibedakan dan tidak Ibu campur. Sisa makanan itu sepertinya akan Ibu berikan kepada Paman. Ketika peyek udang kesayanganku ikut dimasukkan ke dalam plastik, aku memberontak.
"Itu juga mau diberikan, Bu?" tanyaku dengan wajah memelas. Aku teringat dengan kata-kata Juni, bahwa wajah memelasku dapat menarik simpati orang untuk menuruti kemauanku. Tapi, Ibu berbeda dengan orang-orang itu. Ibu tidak pernah terbuai dengan wajah memelasku.
Ibu adalah satu-satunya orang yang tidak pernah terkena rayuan gombalku. Ia tetap memasukkan semua peyek udang itu bahkan dengan butiran tepung yang tersisa. Piring yang paling tidak menyisakan kotoran adalah piring yang terisi peyek udang. Sepertinya hal ini sudah direncakan Ibu sebelumnya. Sejak subuh, Ibu mulai memasak untuk acara pertemuan siang tadi. Ibu memasak banyak makanan, tapi juga membeli banyak camilan.
"Besok ibu belikan lagi. Jangan lupa, besok kamu ikut ibu ke supermarket, ya"
"Iya" sahutku mulai menghidupkan keran air untuk mencuci piring. Aku lupa menanyakan acara yang akan Ibu gelar di rumah. Hal itu sudah menjadi niat yang beberapa kali sudah aku lupakan.
Ibu memakai jaket dengan tergesa-gesa. Hampir menumpahkan plastik hitam yang ia bawa. Plastik yang berisi peyek kesukaanku. Setelah sampai di depan rumah dan menutup pintu, Ibu membetulkan jaketnya lagi dengan lebih tenang. Bahkan Ibu sempat membuka beniknya lagi untuk mencium aroma tubuhnya. Ibu memastikan tubuhnya tetap wangi. Selama perjalanan Ibu terus-menerus membetulkan penampilannya.
Kaki Ibu menapak di lantai rumah Paman pukul tiga lebih lima belas menit. Yang menjaga rumah adalah Juni. Saat Ibu sampai di rumah Paman, Juni sedang bermain dengan kucing tetangga. Juni melihat kedatangan Ibu, buru-buru menyambutnya.
"Eh, Tante" sapa Juni meyambut kedatangan Ibu di depan rumah. Tidak lupa, Juni langsung menyalami Ibuku. Mencium punggung tangan Ibu. Ibu sedikit terpukau dengan kesopanan Juni.