Sekali kamu berbohong, kamu tidak akan mendapatkan kepercayaan yang sama dengan yang kamu lakukan ketika jujur. Itu artinya, kepercayaan orang terhadapmu tidak sempurna lagi. Minta maaf bagaikan obat dosis rendah. Minta maaf hanya akan mengurangi rasa marah.
Dua atau tiga hari sesudahnya, orang itu mungkin akan mengobrol dengan si pembohong seperti sedia kala. Tapi, kepercayaannya tidak akan pulih seperti saat pertama untuk selamanya. Beberapa hari yang lalu, aku dibohongi oleh seseorang yang sudah aku anggap sebagai orang baik. Aku belum berniat memaafkannya. Sembilan puluh sembilan persen kepercayaannku kepadanya sudah hilang digantikan kemarahan yang selalu muncul setiap kali memandang wajahnya.
Ini pertama kalinya aku disakiti di sebuah pesta ulang tahun. Aku akan mengingat pesta ulang tahun itu sebagai petaka. Aku yakin Orlin tidak akan lupa kejadian kemarin, di hari ulang tahunnya pada tahun-tahun yang akan datang. Hari-hari selanjutnya, aku berniat akan menambahkan sesuatu untuknya yang tidak akan dia lupakan seumur hidupnya. Dengan menggunakan kemarahanku, aku akan membuat Orlin tidak bisa tenang di sekolah.
Orlin menampakkan batang hidungnya kembali setelah empat hari tidak berangkat ke sekolah. Ia sudah menjadi perempuan normal. Wajahnya tertimbun bedak. Bedak yang digunakan ampuh untuk menutupi beberapa jerawat yang mulai bermunculan. Bibirnya merah jambu bersinar terkena lipstick. Bulu matanya semakin lentik. Alisnya menjadi lebih hitam dan rapi dari hari-hari sebelumnya.
Sampai saat ini, setelah pesta ulang tahun itu, para murid perempuan tidak henti-hentinya membicarakan Orlin di kelas. Sebelum bel masuk, saat istirahat, bahkan di tengah-tengah guru menerangkan pelajaran. Hampir sebagian besar murid perempuan menjadikan Orlin sebagai bahan utama pembicaraan. Ia menggeser topik tentang Andi. Kakak kelas ganteng yang jarang kelihatan di sekolah.
Sambil melihat awan tebal di langit, telingaku mendengar suara keramaian dari halaman sekolah. Kutengokkan kepalaku dan aku melihat beberapa murid laki-laki memenuhi halaman sekolah. Murid-murid perempuan memilih mundur untuk berkumpul dengan teman satu grupnya. Setelah itu mereka kelihatan berbicara serius sambil menujuk ke arah depan. Aku belum tahu apa yang sebagian murid perempuan itu tunjuk, hingga Orlin menampakkan diri.
Jantungku marah. Berdegup dengan kencang. Gigiku saling bertabrakan di dalam mulutku yang terkatup rapat. Mataku mulai membentuk bulan sabit terbalik. Saat kemarahanku mencapai ubun-ubun kepala, aku teringat dengan kejadian di pesta ulang tahun Orlin beberapa hari yang lalu. Dengan sangat tenang, Orlin berbohong mengaku sebagai pengirim bunga mawar. Entahlah ada apa di balik kebohongannya. Yang paling aku ingat adalah kalimat kebohongannya. Satu kalimat kebohongan Orlin berhasil membuat kepercayaanku hancur berkeping-keping.
Seorang murid cupu yang duduk di belakang bangku Orlin tiba-tiba saja berdiri. Ia memilih untuk menjauhi Orlin. Gadis cupu itu terkenal ahli menyendiri dan hanya selalu bicara dengan bukunya. Namun, untuk pertama kalinya gadis berkaca mata tebal itu mau duduk bersama segerombolan murid yang terkenal asyik. Meskipun hanya duduk lalu kembali diam. Murid itu sudah tahu rencana murid perempuan satu kelas untuk menjauhi Orlin. Ia memilih bergabung dengan yang lain agar tidak semakin terlupakan.
"Maafkan aku" ucap Orlin dengan intonasi datar saat jam istirahat. Aku diam sambil menutup kedua lubang telingaku menggunakan masing-masing jari telunjukku. Orlin menunggu jawaban dariku sambil memegang kepang kiri rambutnya menggunakan tangan kanan.
"Aku minta maaf. Aku menyesal telah melakukan hal seperti itu beberapa hari yang lalu." Mata Orlin sama sekali tidak melihatku. Aku memasukkan kedua tanganku di dalam laci dan memukulnya untuk menurunkan emosiku yang sudah memenuhi ujung kepala. Menyadari aku tidak kunjung memberi jawaban, Orlin akhirnya memberanikan diri untuk melihatku. Bola matanya terbuka seketika melihat mataku sedang menatapnya dengan ganas. Ia lantas memutar kepala untuk melihat ke depan. Pemandangan di depan kembali membuat bola matanya semakin ketakutan.
Segerombolan murid perempuan menatapnya dengan tatapan sama sepertiku. Murid berkaca mata itu juga berhasil memberikan tatapan ganas dengan sangat baik. Orlin menyelamatkan diri dengan melihat papan absensi. Ia membaca namanya berada di urutan pertama. Mata sayunya terbuka sedikit mendapati nama Juni di bawah namanya. Di papan itu tertulis Orlin tidak berangkat empat hari karena izin, sementara Juni tidak berangkat dua hari karena sakit.
"Juni tidak berangkat sekolah juga. Dia sakit apa?" tanya Orlin sungguh-sungguh. Aku mendengus sambil membuang muka ke arah jendela. Di jendela aku melihat awan kapas tebal sambil memikirkan Juni. Aku tidak menjawab pertanyaan Orlin hingga guru mata pelajaran Bahasa Indonesia datang. Semua murid segera duduk dengan tertib. Untuk sementara melupakan Orlin. Suara ketua kelas yang sedang flu terdengar aneh memimpin berdoa.
Bel untuk mengakhiri jam pelajaran seharusnya berbunyi sebanyak tiga kali. Tapi, kini menjadi empat kali lipat. Tukang pemencet bel memencet tombol bel sebanyak delapan kali dengan semangat. Ia turut bersuka ria sekolah berakhir lebih awal. Semua murid berhamburan ke luar kelas. Mereka seperti pasukan perang yang mau menyerbu musuh. Namun, saat sampai di depan pintu gerbang, dua orang satpam menggusur mereka cukup ganas menuju ke lapangan basket.
Halaman basket dipenuhi para penghuni sekolah. Tukang kebun, petugas kantin, kedua satpam ganas tadi, bapak ibu guru, dan tentu saja para murid. Tukang kebun menunda untuk membuang beberapa tumpukan sampah. Petugas kantin berjalan tergesa-gesa menuju lapangan basket dengan masih memakai celemek memasak. Kedua satpam itu berjalan santai setelah berhasil melenyapkan para murid dari area pintu gerbang keluar. Bapak dan Ibu guru langsung keluar kantor setelah kepala kekolah memberi perintah.
Hentakkan kaki terdengar keras di anak tangga sekolah. Aku sengaja mempercepat langkahku agar Orlin gagal mengikutiku. Semakin cepat langkahku, suara keributan dari halaman lapangan terdengar jelas di telingaku. Ketika kakiku berhenti menginjak area lapangan, suara keributan sedikit demi sedikit menghilang. Suara bisikan mengganti suara keributan lapangan basket. Dari arah timur terlihat tukang kebun mendorong panggung kecil. Panggung kecil itu sering digunakan untuk berpidato saat upacara. Seorang siswa laki-laki menyusul dari belakang. Aku tahu dia, namun aku belum pernah sekalipun mengobrol dengannya.
Dia adalah Andi. Kakak kelas genius, cucu pemilih sekolah yang jarang masuk sekolah. Ia seorang pemain biola. Kak Andi adalah violinist andalan sekolahku. Setiap ada acara yang berhubungan dengan musik, Kak Andi selalu tampil untuk mengisi. Lagu yang sering ia mainkan adalah lagu klasik. Meskipun sebagian orang ada yang tidak tahu musik klasik, Kak Andi pintar memilih musik klasik sesuai dengan keinginan pendengar. Sehingga permainannya tidak membosankan dan banyak disukai.
Kak Andi rutin berada di tengah lapangan basket untuk memainkan lagu. Motifnya sama seperti Orlin ber-crossdressing. Kak Andi ingin melihat reaksi orang-orang saat ia memainkan lagu baru. Aku tidak begitu mengenal musik klasik. Tapi, ketika mendengarnya aku selalu bisa menikmatinya. Alunan musiknya bisa membuat perasaanku menjadi menghangat. Aku seperti melayang ke sebuah tempat sangat indah dan selalu ada Juni di sana.
Suara alunan biola dengan nada lembut menyebar ke segala penjuru lapangan. Kak Andi bermain biola dengan sangat elegan di tengah-tengah lapangan. Gerakan tangannya ketika menggesek biola sungguh menakjubkan. Benar-benar terlihat seperti violinist profesional. Kak Andi sering tampil di halaman basket untuk mengetes permainan biolanya. Setelah itu ia akan menghilang. Membuat orang-orang satu sekolah membicarakannya. Namun, itu hanya berlangsung beberapa hari. Setelahnya, ia akan terlupakan. Kehadirannya seperti sesuatu ajaib yang turun dari langit. Kak Andi bisa menyejukkan hati orang-orang dengan biolanya.