Dua minggu ini aku merasa banyak hal terjadi. Kemarahan, kemalangan, kemisteriusan, dan kesuksesan. Ada satu hal yang membuat rasa penasaranku meningkat dua kali lipat. Hal yang berhubungan dengan kemarahan sudah tentu perkara bunga mawar yang tidak akan pernah aku lupakan seumur hidupku. Aku menceritakan kejadian kebohongan Orlin kepada Ibu. Ibu tidak marah dan bilang aku harus memaafkan Orlin. Saat Ibu mengatakan hal itu aku kembali marah.
Yang menjadi topik kemalangan adalah Juni. Ia belum sembuh benar dari sakitnya. Juni sudah kembali lagi ke sekolah, namun ia sering lemas tiba-tiba. Juni sering menghabiskan waktunya di UKS karena tidak kuat untuk sekadar duduk mendengarkan penjelasan guru di kelas. Tidak sadarkan diri di kelas adalah hal yang sangat ditakuti Juni, juga membuatnya merasa malu. Karena setiap kali ia pingsan, aku rela memapahnya sampai ke UKS.
Ibu belum memberitahuku tentang acara apa yang akan digelar di rumah. Bahkan aku belum menemukan tanda-tanda apapun yang berhubungan dengan acara itu. Setiap kali perkumpulan ibu-ibu dilaksanakan lagi, mereka membahas topik yang sama. Topik pembahasan mereka adalah makanan, busana, dan juga undangan. Aku sudah bosan bertanya, tapi rasa penasaranku selalu naik satu tingkat setiap hari. Aku menganggapnya sebagai hal yang paling misterius selama dua minggu ini.
Kak Raka pindah bekerja ke luar kota. Beberapa hari yang lalu ia mengirim pesan mengenai tempat kerjanya yang baru. Kakak bilang bengkel itu adalah bengkel mobil besar dan sudah terkenal di kota itu. Aku dan Ibu membalas pesan dari kakak dengan dua pesan terpisah. Satu pesan ucapan selamat dan kedua adalah pesan yang dipenuhi emoticon tanda senang. Tidak lupa jempol dengan jumlah yang sangat banyak.
Ibuku telah sukses menjadi Ibu baik hati sepuluh tahun yang lalu. Ia kembali menjadi sosok wanita berhati bidadari. Terinspirasi dengan perubahan Ibu, selama dua minggu juga aku mulai memberanikan diri membujuk Ibu untuk pindah pekerjaan. Bahkan aku rela mengubah penampilanku, menghilangkan ketomboyan-ku jika Ibu mau keluar dari kafe. Namun, gaji yang besar ditambah banyaknya bonus telah menali pati hati Ibu. Memborgol kaki Ibu. Membuatnya kesulitan keluar.
Sudah dua minggu aku tidak pergi ke pantai. Pergi ke pantai tanpa Juni terasa sangat aneh. Sunset pun menjadi terlihat tidak indah. Meskipun aku suka sunset, aku tidak suka ke pantai melihat sunset sendirian. Ketika aku sendirian menikmati sunset, warna langit merah membuatku merasa berada di tempat lain. Di tempat itu aku sendirian dikerubungi perasaan sedih. Menurutku, orang yang mampu melihat sunset sendirian tanpa berwajah sedih adalah orang yang kuat. Aku merasa kesepian akhir-akhir ini. Rumahku juga semakin sepi gara-gara kakak pergi.
Semenjak sakit, Juni tidak pernah keluar dari kamarnya. Paman menyuruhnya berbaring terus di atas tempat tidur. Istilah kerennya bedrest. Aku tidak pernah absen, duduk manis di samping tempat tidurnya. Menemani Juni. Mengambilkannya minuman, menyilangkan tanganku seperti biasa, bicara pertama kali untuk mulai mengobrol bersama. Setiap hari minggu aku membawa laptop. Kami menonton film bersama.
Hampir tiga puluh menit aku sudah berada di kamar Juni dan menyilangkan kedua tanganku seperti biasa. Tiga puluh menit sudah aku tidak berbicara apa pun. Juni sedang sibuk melihat laut dari jendela kamar yang terbuka.
"Gaun ungu milik Ibumu masih ada di rumahku. Maaf aku selalu lupa membawanya" ungkapku sambil memijit-mijit pelan kaki Juni. Kepala Juni menggeleng-geleng dengan cepat. Mungkin karena tiba-tiba angin berhembus kencang dan membuat matanya kelilipan. Bukan karena ingin menjawab kalimat pembukaku. Juni terlihat mengucek matanya kemudian.
"Sebenarnya, aku ingin memberikan gaun itu untukmu. Sudah lama aku ingin memberikannya kepadamu, Yun"
"Kenapa kamu ingin memberikannya untukku? Gaun ungu itu peninggalan Tante. Sudah pasti menjadi barang berharha untukmu dan Paman. Aku tidak bisa menerimanya." Juni menggelengkan kepalanya tidak menyetujui pendapatku. Ia mencoba tenang. Semburat keraguan bebeapa detik terpancar. Juni ancang-ancang mengambil napas. Demi mengungkapkan kalimat berikutnya. Aku mencoba mempertahankan senyumku agar dia tidak ragu lagi mengungkapkan isi hatinya. Keraguan yang diperlihatkan Juni adalah tanda bahwa ia ingin membicarakan hal yang serius. Aku sudah hafal betul di luar kepala.
"Sebenarnya aku ingin memberikan gaun itu kepadamu suatu hari nanti"
"Suatu hari nanti kapan?" tanyaku masih tersenyum manis. Juni terlihat semakin ragu untuk meneruskan.
"Saat kita menikah suatu hari nanti" Juni membuatku kembali terpaku. "Aku ingin kamu memakainya kalau nanti kita benar-benar menjadi suami istri."
"Hahaha, aku percaya kita sudah sudah berjodoh sejak kecil, Jun. Jadi, tenang saja. Suatu hari nanti kita pasti menikah" jawabku sambil tertawa. "Aku serius, Jun" tambahku kemudian karena tiba-tiba Juni mengelurakan wajah murungnya.
"Bagaimana kamu bisa yakin kalau kita jodoh?" Pertanyaan Juni terdengar datar, muka murungnya seketika berubah menjadi datar setelah meendapatkan dua jawaban dariku. Kedua jawaban itu adalah jawaban yang aku keluarkan dengan serius. Aku sengaja tertawa di jawaban pertama karena aku ingin melenyapkan kekakuan yang tiba-tiba menyerbu.
"Makannya cepat sembuh. Kamu terlalu banyak minum obat, jadi telat mikir"
"Apa hubungannya obat dengan pikiran?"
"Waktu di pesta kemarin, aku mengambil gaun ungu milik ibumu secara diam-diam. Gaun itu ternyata akan kamu berikan kepadaku saat kita menikah nanti. Anggap saja itu salah satu tanda kita berjodoh."
"Kamu mungkin benar, Yun. Kita memang ditakdirkan berjodoh" mulut Juni membentuk garis melengkung. Sayang, matanya tidak ikut tersenyum. Dua kelereng hitam Juni menatapku dengan sayu dan terlihat terisi oleh sesuatu. Sesuatu yang belum sempat ia sampaikan kepadaku. Sesuatu yang sepertinya ingin ia pendam lebih dulu.
Untung saja beberapa hari kemudian aku dan Juni mengobrol lagi seperti biasa. Ia selalu menjawab perkataanku dengan baik diselingi canda tawa. Meskipun cerita yang aku bawa dan berikan kepadanya adalah cerita yang menyedihkan. Setelah mulutku terkatup, mulut Juni akan langsung melengkung. Mulut yang melengkung adalah tanda orang bahagia. Tapi, rasa-rasanya mulut melengkung zaman sekarang adalah sebuah kepalsuan. Ia pandai menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Juni mulai ahli melakukan itu semenjak jatuh sakit.
Juni terlihat menyimpan sesuatu. Ia tidak juga menceritakan sesuatu itu kepadaku. Juni seperti berusaha keras untuk menahannya dengan seluruh kekuatan dalam tubuhnya. Namun, tubuhnya yang lemah sudah tentu tidak terlalu kuat untuk menahannya. Sakit tidak kunjung sembuh adalah tanda Juni sedang memikirkan sesuatu terlalu lama. Sesuatu itu sudah terlalu disembunyikan sangat dalam di dalam dirinya.