Satu hari sebelum acara misterius Ibu yang amat aku nanti-nantikan, Juni bertingkah aneh. Ia menambah beban dalam pikiranku yang tidak bisa aku selesaikan dalam waktu dekat. Sudah satu minggu sejak berangkat ke sekolah berboncengan. Sejak hari itu Juni selalu ingin berada di dekatku. Hampir setiap hari. Ia merengek manja kepadaku. Untung saja Juni tidak sampai mengikutiku ke kamar mandi.
Hari ini Juni datang lebih awal. Tepat jam setengah tujuh ia sudah duduk manis di kursi teras rumah, menantiku. Berkali-kali mulut Juni menjawab suaraku dari dalam rumah yang menyuruhnya untuk bersabar menungguku. Setelah kaki kami sama-sama menginjak aspal jalanan kompleks, Juni mulai membuka keanehannya yang pertama. Tiba-tiba Juni bertanya kepadaku dengan irama penuh pengharapan.
"Yuni, apa ada sesuatu yang sedang kamu inginkan?" tanya Juni terus terang. Tidak hanya perkataannya saja yang terang-terangan, tapi mata Juni juga memunculkan cahaya terang seperti sebuah cahaya harapan.
Pagi tadi saat berjalan bersama menuju ke sekolah seperti biasa, aku tidak menanggapinya dengan serius. Aku hanya memberikan sebuah senyuman seadanya kepada Juni. Namun, bersama hatiku aku menjawab ada. Aku kira Juni akan memonyongkan bibirnya lalu cemberut seperti biasa. Jari-jari tangan kananku sudah aku persiapkan untuk mencubit pipinya. Juni malah bebas melangkahkan kaki dan meninggalkan aku di belakangnya. Akhirnya, yang cemberut adalah aku.
Beberapa meter sebelum sampai di gerbang masuk sekolah Juni kembali bertanya, dengan mata yang semakin memancarkan cahaya.
"Apa ada sesuatu yang sedang kamu inginkan?" Karena masih tidak terima dengan Juni yang tiba-tiba meninggalkanku, aku tetap cemberut. Diam tidak peduli. Lagi-lagi Juni tidak meresponku. Ia terlalu fokus pada pertanyaannya yang akan ia lontarkan kepadaku beberapa jam lagi selama seharian ini.
Meskipun bertanya terus menerus, ekspresi wajah Juni seperti orang sedang membuat sebuah harapan sekaligus menanti harapan. Bingung rasanya jika aku harus bertanya juga kepadanya tentang harapannya kepadaku pagi ini. Bukankah aneh juga bila tiba-tiba aku berkata apa harapan Juni. Aku memilih diam. Pelan-pelan wajah cemberutku menjadi tenang. Giliran hatiku yang merasa sedikit tidak enak hati kepada Juni.
Sebelum jam pelajaran pertama dimulai, Juni kembali bertanya kepadaku. Lagi dan lagi dengan pertanyaan yang sama. Dengan intonasi yang sama juga. Dan cahaya terang di matanya tidak juga meredup. Aku memilih menatap bangku Orlin yang kosong. Sudah satu minggu ini Orlin tidak berangkat karena acara agensi majalah. Entah kenapa aku mensyukurinya.
"Juni, nanti kita lihat sunset, yuk! Sudah jarang kita tidak melihat sunset berdua lagi" Aku berujar untuk mencegahnya mengeluarkan pertanyaan yang sama lagi kepadaku. Sepertinya perkataanku barusan berhasil menahan Juni untuk mengeluarkan pertanyaannya lagi. Kulihat kedua pipi tirus Juni mengembang. Aku sudah menantikannya sejak tadi pagi. Jari-jari tanganku kembali aku gerakkan. Kali ini aku akan mencubitnya dengan kegemasan yang tinggi.
"Tidak mau" parau Juni. Wajahnya terlihat mendung. "Kalau kamu tidak menjawab pertanyaanku aku tidak mau melihat sunset"
"Kamu kenapa sih, Juni? Aneh sekali dari tadi pagi. Kesambet atau kenapa? Seperti cewek mau datang bulan saja" dengusku.
"Makannya pertanyaanku dijawab, Yun. Supaya aku tidak bertanya terus"
"Terserah!" Aku menjulurkan lidarku. Hingga menutup kedua mataku. Juni membuang napas lelah. Lama-lama Juni menjadi kesal sendiri.
Selama pelajaran terakhir aku sama sekali tidak fokus. Sambil melihat ke bangku kosong milik Orlin aku membuang pikiranku jauh dari kegiatan kelas. Aku sukses melamun. Di sela-sela melamun, aku tidak lupa untuk mengedipkan mata. Dengan begitu bapak guru yang mengajar tidak akan mengetahui jika aku sedang melamun. Tanda-tanda orang melamun adalah tidak mengedipkan matanya, tidak berlaku untukku. Tanda aku melamun adalah semakin banyak berkedip.
Sepulang sekolah, aku sengaja berjalan centil di belakang Juni. Memancingnya untuk mengajakku bicara seperti biasa. Sebentar lagi kami akan bertemu perempatan jalan. Aku akan berteriak keras jika Juni memilih untuk belok ke kiri. Belok kiri adalah tanda ia tidak ingin melihat sunset. Bibirku tersenyum lebar dan aku bersyukur Juni terus berjalan lurus. Setelah melewati perempatan itu Juni berhenti berjalan.
"Yuni, apa ada sesuatu yang sedang kamu inginkan?" lagi-lagi Juni bertanya. Suaranya masih sama. Dengan ekspesi wajah yang sama juga. Deru ombak di tepi pantai memecah belah suara Juni. Suara Juni seperti menjadi satu dengan suara ombak itu. Karena tidak tega akhirnya aku memutuskan untuk menjawabnya. Tanpa berpikir panjang aku menjawab dengan jujur.
"Aku ingin rok sekolah baru"
"Rok sekolah, ya? Baiklah" Juni berputar menghadapku. Pelan-pelan kakinya melangkah ke depan. Juni melangkah dengan mata yang sudah tidak dipenuhi cahaya terang aneh yang sulit aku artikan lagi. Meskipun langkahnya pelan, mata Juni melihatku dengan cepat.
"Terima kasih, Yuni. Aku menyayangimu" ucap Juni memeluk tubuhku. Juni melepaskan pelukan, untuk mencium pipi sebelah kananku. Mendadak aku tidak bisa merasakan apa-apa. Sejak kecil aku terbiasa mendengar Juni menyatakan perasaannya. Kadang-kadang kami juga berbagi ciuman pipi. Tapi, waktu itu aku merasa semua itu biasa saja. Tidak merasa berdebar-debar aneh seperti yang aku rasakan sore ini.
"Iya-iya. Sudah lepaskan. Kamu lupa, aku masih memakai seragam laki-laki? Orang-orang akan mengira kita dua cowok saling berpelukan" Juni melepas pelukanku lalu berlari ke belakang meninggalkanku. Ia berlari sambil menutup mulut dengan tangan kirinya. Sementara aku membelai pipiku yang tercium Juni dengan tangan kananku.
Juni berlari sampai di perempatan itu lagi. Ia berbelok ke kanan. Begitu berbelok langkah kakinya semakin cepat. Ternyata Juni benar-benar tidak ingin melihat sunset sore ini. Juni ingin menyatakan perasaannya kepadaku. Juni berhenti berlari untuk mengatur napas. Bibir tipisnya segera tersenyum mendapati awan cumulo tebal berwarna kekuningan di atas langit. Bagi Juni, sunset sore ini terlihat paling sempurna dari semua sunset yang pernah ia lihat seumur hidupnya. Hari ini, sunset sukses menemani Juni menyatakan perasaannya kepadaku.
Banyak orang sudah menanti sunset di pinggir pantai. Salah satu dari orang-orang itu adalah seorang gadis yang duduk sendirian di sebuah batang kayu. Ia melihat sunset sambil mengelus pipinya yang memerah. Memerah bukan karena terkena cahaya senja. Tapi, karena ia baru saja mendapatkan penyataan cinta dan ciuman pipi oleh anak laki-laki yang juga dicintainya sejak kecil.
Mulutku akhirnya bisa aku tutup. Aku tidak pernah menyangka Juni dapat menyatakan perasaannya dengan lancar di depanku seperti itu. Bahkan ia sampai berani mencium pipi sebelah kananku. Seingatku Juni menjadi sangat pemalu jika berurusan dengan cinta. Sudah tidak terhitung lagi berapa kali aku tertawa melihat pipi tomatnya ketika aku menciumi pipinya sewaktu kecil. Aku menyayangimu, terus terdengar di pikiranku hingga matahari sepenuhnya tenggelam di laut.
Sepertinya selain acara Ibu yang tinggal beberapa jam, malam ini aku tidak akan bisa tidur nyenyak karena satu hal lagi. Suara Juni, pipinya yang memerah, lalu detak jantungnya yang dapat aku dengar ketika kami saling berpelukkan. Aku masih bisa mendengar suaranya dengan jelas di telingaku meskipun ia sudah tidak ada di sampingku. Apa yang dilakukan Juni serkarang. Apakah tangan kiri masih menutup mulutnya dan apakah pipinya masih merah merona?