SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #17

17. Kesedihan di Pantai

Pantai sangat sepi dan kosong. Bahkan ombak yang menerpa seperti menunjukkan kesepiannya. Mataku mengamati ombak-ombak itu sampai batas waktu yang tidak aku tentukan. Aku duduk di sebuah tempat duduk tidak jauh dari tepi jalan. Bangku yang aku duduki saat ini memiliki sejarah suram. Konon pengunjung yang duduk di tempatku duduk adalah pengunjung yang selalu ingin mengakhiri hidupnya. 

Padahal tempatku duduk sekarang adalah tempat yang pas untuk melihat sunset dan berenang di laut. Tempat duduknya terletak di ujung pantai yang sepi, sangat cocok untuk melamun. Sudah banyak pengunjung setelah duduk memutuskan untuk menceburkan diri di laut. Mereka tidak mau kembali. Semua orang mengambil kesimpulan orang yang duduk di tempat ini adalah orang yang tidak ingin melanjutkan hidup.

Legenda menyedihkan tentang tempat duduk itu sudah aku tahu sejak kecil. Memang benar setelah duduk di sini beberapa pengunjung pernah menceburkan diri ke laut. Sejak dulu aku yang penasaran selalu ingin mencoba duduk di tempat ini. Tapi, tidak pernah terjadi, karena Juni selalu mencegahku sambil berlinangan air mata. Aku rasa semua orang bermasalah sepertiku sudah tahu tentang tempat duduk itu. Sengaja duduk di sana sebelum membunuh diri mereka sendiri.

Karena bosan aku memutuskan untuk berjalan ke depan, sedikit mendekati laut. Angin laut mempermainkan rambutku yang berantakan. Wajahku semakin terlihat kusam. Badanku masih terbungkus baju tidur. Aku baru menyadari tubuhku sudah terbenanm air laut, ketika seseorang meneriakiku. Melihatku berjalan hampir ke tengah laut, penjaga pantai laki-laki yang sudah memperhatikanku langsung berlari kencang. Penjaga pantai laki-laki itu menarik tanganku dan langsung memeluk tubuhku dengan erat.

"Semua masalah bisa teratasi asalkan kamu tetap hidup" kata penjaga itu dengan lembut. Suaranya yang lembut dipecah-pecah oleh sebuah ombak besar.

Penjaga pantai mengelus-elus rambutku. Membuatku segera menumpahkan air mata. Ini pertama kalinya aku menangis dipeluk oleh penjaga pantai yang tidak pernah aku kenal. Aku tidak pernah menginginkan kejadian seperti ini dalam hidupku. Menyeramkan sekaligus memalukan. Tapi, aku sendirian sekarang. Aku sepenuhnya sendirian. Tidak ada orang yang menyusulku di sini. Semuanya lebih memperdulikan rencana pernikahan Ibu dan Paman.

"Jangan sembunyikan apalagi simpan lukamu sendirian. Mari berbagi lukamu kepada kami. Penjaga pantai di sini ada yang perempuan juga, lho. Kalau kamu tidak nyaman bercerita kepada laki-laki, kamu bisa bercerita sepuasmu kepadanya. Namanya Mbak Fira. Sekarang ayo ikut aku"

Aku berjalan kembali ke pinggir pantai sambil menghapus air mata terakhirku di pipi sebelah kiri. Sampai di tempat para penjaga pantai itu aku duduk dengan pandangan kosong. Aku sudah seperti mayat hidup. Penjaga pantai yang tadi menolongku menyuruhku duduk di sebuah kursi plastik berwarna biru. Wajahku terlihat sangat pucat karena aku belum makan apa-apa. Beberapa jam yang lalu aku bangun tidur dan langsung dipaksa untuk menuruni tangga untuk menghadiri pesta ulang tahunku.

Tidak kuat karena tiba-tiba kepalaku pusing, aku meminta air putih kepada seorang penjaga pantai yang lain. Penjaga pantai yang tadi memelukku sedang mencari seseorang bernama Fira. Beberapa saat yang lalu saat aku sampai di kerumunan mereka, beberapa penjaga pantai langsung berbisik dan berkata panggilkan Fira. Namun, yang melaksanakan penjaga pantai yang sukses membuatku menangis tadi.

Seseorang bernama Fira itu adalah mahasiswi jurusan psikologi di sebuah universitas swasta. Ia tidak menyukai teori jadi lebih memilih mengobrol dengan orang-orang di pantai untuk menolong mengatasi masalah mereka. Gara-gara itu, Mbak Fira kesulitan untuk lulus. Namun, Mbak Fira lebih suka menyebutnya kesulitan untuk keluar dari penjara. Sebenarnya Fira tidak ingin lanjut kuliah. Ia dipaksa kedua orang tuanya yang juga sarjana psikologi untuk kuliah. Fira menganggap dirinya akan hancur jika terlalu banyak teori.

Fira selalu menghabiskan waktu di pantai untuk membuang teori perkuliahan yang tidak berguna. Sudah lama, ia tertarik dengan legenda kursi bunuh diri itu. Fira juga beberapa kali menyelamatkan orang yang mau bunuh diri hanya dengan mengajaknya bicara dengan lembut. Beberapa saat yang lalu Fira sedang pergi agak jauh dari pantai. Sebelum aku, ada seorang remaja juga yang hampir bunuh diri. Fira mengantarnya pulang setelah mengajaknya mengobrol.

Penjaga pantai mempercayai Fira dan memberikan pekerjaan Fira untuk menolong mereka menghentikan legenda kursi bunuh diri. Gara-gara legenda itu ada beberapa pengunjung tidak mau bermain-main lagi di sekitar kursi itu. Padahal di sekitar kursi itu adalah tempat yang bagus untuk berfoto dengan latar belakang sunset. Aku menyesal tidak pernah berhasil berada ke tempat itu karena dicegah Juni. Tapi, hari ini aku merasa senang dan puas bisa duduk di sana. Meskipu aku hampir melakukan hal bodoh beberapa saat yang lalu. Aku berniat akan duduk di sana lagi tapi untuk melihat sunset.

Begitu datang, Fira langsung menggandeng tanganku, mengajakku menjauh dari para penjaga pantai itu. Penjaga pantai yang tadi memelukku melepasku sambil melambaikan kedua tangannya. Aku belum sempat melihat wajah Fira. Tapi, dari caranya menggenggam tanganku, aku percaya dia orang yang baik. Karena tidak suka teori, Fira menjadi orang yang terlalu mementingkan perasaan. Setelah menemukan tempat yang cocok untuk membagi cerita, dia mengajakku duduk. Tentu saja tempat itu jauh dari tempat duduk bunuh diri tadi.

"Semua remaja menyukai tempat ini ketika akan membagi masalah mereka" ujar Fira. Bahkan tempat saja sudah ia ketahui. Aku sedikit kagum kepadanya. Mungkin sarjana yang sudah lulus belum tentu dapat mengerti hal seperti yang Fira lakukan saat ini.

Lihat selengkapnya