SUNSET

Murti Wijayanti
Chapter #18

18. Juni, Ayo Kita Kabur!

Juni berjalan dengan lemas dan tergopoh-gopoh ketika aku menemukannya di perempatan jalan. Ia memegang kaki kanan, sibuk membersihkan kotoran yang menempel di celananya. Sepertinya, Juni baru saja terjatuh di tempat itu. Angin membelai tubuhku dengan lembut, menyentuh kakiku untuk membujuknya berjalan. Aku berjalan menemui Juni dengan kemarahan yang mulai muncul kembali.

Melihat Juni membuatku mendengar suara Paman tadi pagi. Suara yang tidak pernah aku harapkan akan keluar dari mulut Paman yang sudah aku anggap sebagai pamanku sendiri. Paman adalah pria hebat yang tidak pernah aku anggap sosok ayah di mataku. Meskipun sifat ayahnya selalu ia tunjukkan kepadaku, aku lebih senang menganggap paman adalah pamanku.

Juni masih membungkuk, begitu aku sampai di depannya. Ia yang kaget melihat kakiku sudah berada di samping kakinya. Aku memakai sandal pemberian Paman dulu sewaktu ulang tahunku yang keenam belas. Sekarang umurku sudah tujuh belas tahun. Juni tidak mengira aku akan tetap memakai sandal itu. Paman memiliki selera yang buruk dalam memilih barang dan hadiah. Ia membelikanku sebuah sandal bergambar Spiderman karena aku gadis tomboy. Padahal aku pernah melihat sandal itu berbaris rapi di rak sepatu khusus pria di sebuah toko.

“Kamu jatuh?” Aku mencoba menghilangkan keterkejutan Juni dengan bertanya selembut mungkin. Aku tidak pernah nyaman melihat Juni memunculkan wajah kagetnya. Ketika kaget, wajah Juni malah akan terlihat sedih. Sudah lama aku ingin membahasnya bersama Juni. Namun, waktu belum memberikan kesempatan. Aku sering kehilangan keberanian.

Juni tidak kunjung menjawab. Wajahnya dipenuhi beban berat tidak terlihat. Juni kelihatan tertekan sama sepertiku. Bibir tipis Juni mencoba mengukir senyum. Tangannya bergerak ingin menunjukkan bersikap biasa yang dibuat-buat. Juni tidak pernah bisa membaca isi hatiku. Ia selalu gagal bila mencobanya. Sambil tersenyum Juni menahan dua rasa sakit yang hebat. Sewaktu melihatku berlari pergi, Juni juga ikut berlari. Namun, telinganya mendengar suara keributan dari dalam rumah disusul suara Paman yang memanggil namanya. Ia segera kembali ke dalam rumah, menemui panggilan ayahnya.

Lihat selengkapnya